Selasa, 05 April 2011

Keluhan Si Wanita Tukang Keluh


Saya hanya ingin menangis kali ini. Sekali lagi. Yang entah tangisan ke berapa. Dan entah kapan akan berakhirnya. Tangisan atas nama kekecewaan yang seharusnya tak ada dalam kamus manusia yang mukhlisin, yang menyerahkan semua urusannya hanya kepada-Nya. Tapi bukankah wanita ini baru belajar untuk menggapainya? Tertatih, berjalan pelan, meraup ilmu, dan mencoba membingkainya dalam laku akhlak yang bersumber pada aturan-Nya berbekal ittiba’ pada Rasul-Nya, Sang Pemilik kesempurnaan akhlaq yang mulia.
Seharusnya airmata ini memang tak membanjir sekarang. Hanya karena komitmen dari orang-orang yang bergelar kader mulai mengalami kefuturan. Hanya karena mereka yang di awal seia sekata untuk berjuang dengan segenap potensi yang mereka miliki untuk membingkai hari-hari indah dalam dunia birokrasi, mengalami kejenuhan. Tergerus dengan kesibukan kerja dunia para birokrat yang menuntut profesionalisme di segala lininya, hingga tak ada waktu yang tersisa untuk pekerjaan utama: ‘dakwah untuk meninggikan kalimat-Nya’.
Apakah mereka salah? Tentu tidak. Lalu siapakah yang salah? Mungkin saya yang salah karena tak pandai menjaga ukhuwah dan mengobarkan semangat mereka agar tetap menyala. Ya mungkin sayalah yang salah, yang kadang mengendur rengkuhannya hingga mereka mulai tidak mendapatkan kehangatan dalam pekerjaan berat yang harus mereka tanggung selain pekerjaan rutin kantor yang seakan tak ada hentinya.
Tapi Ya Rabb, bukankah hamba juga sama seperti mereka? Ada kalanya hamba futur dan ingin mendapatkan rengkuhan dari mereka. Menyemangati hamba. Mengobarkan kembali semangat hamba. Saat semangat hamba sedang tinggi mungkin hamba mampu mengemban amanah itu sendiri, memberikan ruang bagi mereka untuk fokus terhadap pekerjaan rutinnya. Karena hamba sadar, seorang muslim adalah seorang yang memiliki etos kerja yang tinggi, profesional, dan dapat dipercaya dalam semua amanah yang diembankan kepadanya. Dan termasuk di dalamnya amanah pekerjaan kantor mereka. Tapi saat hamba sedang merasa keletihan, hamba ingin ada yang mengambil beban itu dari pundak hamba. Membawanya bersama-sama. Karena bukankah ini hakikat kerja dalam jamaah? Saling berbagi beban. Berbagi senyum. Berbagi air mata. Saling menguatkan, karena dua kaki saja tak kan cukup kokoh untuk menopangnya.
Ya Rahman, sungguh rasa sakit yang hamba rasai dalam hati ini belumlah seberapa jika dibandingkan dengan yang Kau ujikan pada Rasul-Mu. Sungguh, hamba belum beroleh cacian, makian, dan siksaan seperti manusia-manusia mulia itu dalam mengemban Risalah-Mu. Namun ternyata airmata ini tak kunjung juga mau menghentikan alirnya. Bukankah seharusnya tidak ada kesedihan dalam perjuangan yang bermuara pada-Mu? Bukankah semestinya semua lelah yang hamba rasai akan berujung pada nikmat-Nya bermunajat kepada-Mu? Hamba tau hamba yang salah Ya Rabbiy.. Hati ini terlalu sempit, sehingga riak kecil dalam kerja dakwah saja mampu menderaskan airmata. Diri ini yang terlalu rapuh, sehingga kadang tak sabar dalam kerja lintas generasi yang penuh peluh. Mungkin niat ini yang tak lagi lurus. Mungkin keikhlasan ini telah tercemari dengan segala polusi dari maksiat diri. Astaghfirullah hal ‘adzim… Ampuni diri ini Ya Rabbiy..
Ya Mujib, kuatkan kaki hamba untuk menapaki jalan dakwah ini. Tetap di sana, walau dalam keletihan yang bagaimanapun juga. Karena hamba yakin akan jual beli ini. Karena hamba telah memutus dan hamba harus menerima segala konsekuensi. Menjadi wanita yang menceburkan diri dalam kawah panas dakwah birokrasi. Yang ternyata tak cukup dengan sekedar waktu dan tenaga sisa. Tetap menjadi prioritas utama walaupun diselipkan dalam beban tugas menjadi Abdi Negara. Yang semakin ke sini hamba rasai semakin memberati punggung hamba. Ternyata tidak mudah mensikronkan menjadi pegawai yang profesional sekaligus pendakwah di hitam putih abu-abunya dunia birokrasi negeri ini.
Kadang kala terpikir untuk melepasnya saja. Sebagaimana yang lainnya. Di kantor ya hanya sekedar untuk bekerja. Karena untuk mengerjakan pekerjaan profesional saja kadang tak cukup waktu. Apalagi ditambah berpikir untuk dakwah dan sebagainya. Mau meminjam waktu dan tenaga siapa? Sebenarnya hamba ingin berkata, hamba tak sanggup Ya Rabb… Hamba tak sanggup… Namun hamba malu… Hamba malu kepada-Mu, yang telah memberikan hamba segala potensi yang seharusnya bisa hamba optimalisasi. Hamba juga malu kepada para muslimah mujahidah pengukir tinta emas sejarah.
Sumayyah mujahidah pertama yang menggadai jiwa demi imannya. Khadijah, pembenar kerasulan Muhammad saw disaat semua orang mendustakan dan telah meridhakan semua hartanya demi tegaknya dakwah islam. ‘Aisyah, si cerdas yang bagai telaga bagi para musafir ilmu yang dahaga. Nasibah dan Ummu Ammarah yang rela berlelah dalam perjalanan panjang mengikuti baiat aqabah. Asma’, Nusaibah, Ummu Sulaim dan puluhan shahabiyah lain yang telah menggadai sempurna seluruh potensi yang ada pada dirinya demi bersinarnya cahaya Islam di penjuru dunia. Dan mereka melakukannya jelas bukan untuk menyimpang dari fitrah kewanitaannya. Namun, itulah bukti cinta yang bergelora dalam hati mereka. Itulah bukti syukur atas segala karunia yang telah Allah berikan kepada mereka. Itulah bekal yang akan mereka bawa untuk menghadap Rabb-Nya.
Lalu apakah wanita ini akan menyerah kalah begitu saja? Hanya karena satu dua hal kecil yang menelikung langkah dakwahnya. Yang menjatuhkannya. Yang kadang membuatnya tergugu dalam shalat malamnya. Tapi bukankah Kau masih mengaruniai hamba kaki yang utuh Ya Rahman? Yang seberapa kalipun hamba jatuh, hamba masih bisa berdiri lagi. Berdiri dan terus berdiri… Sampai nanti hamba tak mampu lagi…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar