Dua orang proklamator kemerdekaan Indonesia, Soekarno dan Hatta, memiliki tempatnya di hati saya secara pribadi. Kekaguman saya terhadap dua orang ini bukan saja karena mereka adalah dwi manunggal yang tak akan pernah bisa tergantikan tetapi karena latar belakang kedua orang ini yang membuat saya kagum. Soekarno-Hatta, keduanya berasal dari latar belakang orang biasa yang dikenal sebagai pemimpin yang luar biasa. Bagi saya pribadi, dua orang ini mungkin adalah contoh pemimpin yang muncul bukan karena proses struktural tetapi karena kemampuan mereka.
Sudah menjadi budaya di kalangan masyarakat Indonesia untuk selalu melihat seorang pemimpin bukan dari aspek kemampuannya belaka melainkan dari aspek lainnya seperti keturunan, kedudukan, serta status. Kenyataan ini memang tak dapat dihindari mengingat budaya paternalistik masih mengakar kuat di budaya masyarakat kita. Dalam melihat pemimpin, beberapa unsur dari kebudayaan kita masih suka mengkaitkan seorang pemimpin dengan kepercayaan-kepercayaan mistis dimana seorang pemimpin tidak hanya merupakan pilihan manusia tetapi juga pilihan Sang Gusti.
Budaya-budaya seperti ini memang sudah tidak terlihat menyolok sebagaimana dahulu kala. Masuknya nilai-nilai modernitas membuat masyarakat lebih rasional dalam melihat sesuatu. Namun dalam hal kepemimpinan, budaya paternalistik tampaknya tidak bisa sepenuhnya hilang. Keberadaan budaya paternalistik dalam beberapa hal menciptakan sebuah tatanan masyarakat yang tidak kompatibel dengan masyarakat yang kita coba bangun; yakni masyarakat demokratis.
Sekarang, tidak ada kata yang lebih penting dalam kehidupan bernegara melebih kata demokrasi. Semua institusi negara beserta perangkatnya, kita coba bangun dengan prinsip demokrasi. Semua hal yang ingin kita bangun selalu berlandaskan pada demokrasi. Mulai dari institusi politik seperti partai politik, institusi negara, institusi agama, hingga institusi terkecil berupa keluarga, semua diusahakan berlandaskan kepada prinsip-prinsip demokrasi. Kita menggunakan kata demokrasi untuk menjelaskan banyak hal. Namun pada intinya, demokrasi tak lain adalah cara bagaimana kita memilih pemimpin kita baik di institusi politik hingga institusi agama. Democracy is not merely about formation of goverment, nor it is a principle of society. At the end, democracy deal with how we choose our leaders.
Pendidikan Kepemimpinan
Demokrasi tidak akan berjalan bila budaya bagaimana pemimpin dibentuk masih dipengaruhi oleh semangat paternalistik yang tidak sejalan dengan demokrasi. Dalam demokrasi, pemimpin diharapkan muncul sendiri dengan kualitas yang dimilikinya. Dia tidak harus muncul karena proses struktural ataupun diminta oleh orang diatasnya. Dalam budaya kita, individu yang memiliki inisiatif untuk mengusulkan dirinya sebagai pemimpin masih dianggap sebagai sesuatu tindakan yang negatif. Dan pada saat yang bersamaan, budaya kita masih melihat kualitas-kualitas yang dimiliki seseorang diluar kualitas-kualitas yang dapat diukur seperti keturunan, status sosial, dan lain-lain. Hal ini, dalam sosiologi dikenal dengan sebutan Patron-Client relationship.
Parahnya lagi, budaya ini terinternalisasi sejak dini. Di sekolah contohnya, jarang sekali ada seorang murid yang maju ke depan kelas dan mengatakan kepada seluruh kelas bahwa dia siap untuk menjadi ketua kelas jika seluruh kelas memberikan tanggung jawab ini kepada dirinya. Bila saja ada individu yang menawarkan dirinya sebagai pemimpin, maka kita terkadang mengasosiasikan usaha dia sebagai sebuah ambisi yang dipersepsikan secara negatif. Alhasil, dalam konteks memilih pemimpin, tak jarang kita menunggu menunggu dipanggil atau menunggu ditunjuk. Budaya seperti ini tidak akan memberikan atmosfir bagi terciptanya pemimpin-pemimpin baru yang mampu memotivasi dirinya menjadi pemimpin hingga ia akhirnya dapat merencanakan sebuah proses untuk menjadi pemimpin. dengan mengatakan one day i’ll be a leader. Permasalahan ini mendasar karena dalam scope yang lebih luas, budaya ini menciptakan berbagai macam permasalahan kepemimpinan di tengah masyarakat.
Pemimpin Proses Struktural
Karena tidak adanya inisiatif untuk menjadi seorang pemimpin, kebanyakan pemimpin di masyarakat kita lahir karena proses struktural. Proses struktural tidak membutuhkan inovasi dan new ideas yang berkontribusi terhadap komunitas. Proses struktural dalam menciptakan kepemimpinan hanya akan berakhir dengan pola siapa yang paling senior diantara calon pemimpin yang ada. Bisa jadi prestasi dalam kinerja akan menjadi pertimbangan dalam proses pemilihan pemimpin tetapi senioritas dalam organisasi tersebut akan lebih menjadi pertimbangan. Model kepemimpinan yang melalui proses struktural seperti ini memiliki slogan “kepemimpinan urut kacang”. Siapa yang pertama kali masuk akan lebih berpeluang menjadi pemimpin di organisasi bersangkutan”.
Alhasil, budaya struktural ini hanya akan menciptakan pemimpin yang tidak inovatif dan tida memiliki ide-ide segar melainkan pemimpin yang birokratis dan jumud. Pemimpin birokratis lebih resisten terhadap perubahan dan hanya akan mengikuti prosedur yang sudah berlaku. Dalam kondisi sekarang, Indonesia kurang membutuhkan pemimpin yang dilahirkan dengan proses ini karena kita membutuhkan pemimpin yang mampu melihat peluang dari setiap perubahan-perubahan yang terjadi bukan pemimpin yang selalu berusaha untuk mencegah terjadinya perubahan.
Cenderung Mengelak dari Tanggung Jawab
Salah satu konsekuensi dari kepemimpinan adalah “taking responsibilities”. Memikul tanggung jawab adalah salah satu tugas utama seorang pemimpin. Pemimpin tidak hanya bertugas mengarahkan, membuat perencanaan, dan menjalankan sebuah organisasi. Lebih dari itu, segala dampak keputusan-keputusan yang dibuat oleh organisasi menjadi tanggung jawab seorang pemimpin. Untuk itu, seorang pemimpin haruslah memiliki sikap bertanggung jawab dan tidak melemparkan kesalahan kepada orang lain.
Namun budaya kepemimpinan di masyarakat Indonesia yang patriarkis cenderung membuat para pemimpin tidak mau memikul tanggung jawab. Segala kesalahan yang dihadapinya dengan mudah dianggap bukan bagian dari tanggung jawab sang pemimpin. Sikap lepas dari tanggung jawab ini terlihat jelas dalam pengelolahan sektor pelayanan publik. Sebagai contoh, berbagai macam kecelakaan transportasi yang terjadi di Indonesia, pihak yang seharusnya bertanggung jawab terhadap transportasi dengan mudah mengelak dari tanggung jawab dan kemudian bekerja seperti semula seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa. Belum lagi pengelolahan transportasi Jakarta yang amburadul dimana fakta bahwa transportasi di Jakarta telah menghasilkan pemborosan sebesar 20 triliun per tahun.
Mengapa tidak ada rasa tanggung jawab? Sederhana, karena para pemimpin di sektor tersebut merasa bahwa keberadaan dirinya di posisi tersebut karena, dia ditunjuk orang lain untuk berada di posisi tersebut atau lingkungannya membuat dia berada di posisi tersebut, atau paling ekstrem, dia berada di posisi pemimpin karena senioritas yang sudah dia lalui dari bawah. Rasa tanggung jawab menipis karena para pemimpin merasa posisi yang mereka emban merupakan pemberian dan bukanlah sesuatu yang mereka ambil dimana mereka siap menanggung segala tanggung jawab yang ada.
Pemimpin dengan Sponsor
Budaya patrarkis dalam proses pembentukan kepemimpinan akhirnya menciptakan budaya yang juga relatif tidak baik bagi masyarakat kita. Setiap pemimpin yang ingin maju menjadi pemimpin alih-alih menyiapkan modal dalam bentuk kapabilitas dalam memimpin dan track record yang baik, malah meminta dukungan dan blessing dari tokoh terkemuka atau adat di sebuah tempat. Alhasil, hanya karena tidak mendapatkan blessing atau sponsor dari tokoh-tokoh patron yang ada, seorang yang memiliki kapabilitas dalam memimpin akhirnya tidak memiliki kesempatan untuk memimpin. Hal ini menciptakan permasalahan besar dalam proses pembentukan kepemimpinan: pemimpin bukan lagi orang yang memiliki kapabilitas dalam memimpin tetapi orang yang memiliki konektivitas terhadap kekuasaan.
Positioning Seorang Pemimpin
Seorang pemimpin seharusnya adalah seorang yang maju kedepan dan mengatakan saya punya minat untuk memimpin dan memiliki visi serta rencana untuk memimpin. Sosok seperti ini haruslah kita aresiasi tinimbang kita kesampingkan. Tentu kita tidak bisa menilai seseorang yang menyatakan diri sebagai pemimpin adalah orang yang memiliki ambisi. Bahkan terkadang lebih banyak orang yang tidak menyatakan diri sebagai pemimpin tetapi memiliki ambisi besar untuk memimpin. Alhasil, yang mereka lakukan adalah dengan mendekatkan diri mereka dengan kekuasaan dan hubungan patron-clients.
Harus ada sebuah proses dimana seorang individu berani menawarkan dirinya sebagai pemimpin tanpa harus takut hambatan-hambatan kultural seperti senioritas dan kedekatan dengan kekuasaan. Sudah seharusnya kita mampu menciptakan pemimpin-pemimpin di luar struktural dan jauh dari kekuasaan layaknya Soekarno dan Hatta yang terlahir dari rakyat biasa dan tidak pernah mencicipi sedikitpun menjadi bagian dari kekuasaan kolonial.
Di Indonesia sekarang, saya melihat telah muncul pemimpin-pemimpin yang muncul dari luar struktural. Pemimpin-pemimpin yang membuktikan kemampuannya dalam usia yang relatif muda. Kunci untuk menciptakan pemimpin-pemimpin tanpa budaya patriarkis adalah dengan menciptakan ruang yang lebih untuk berkembangnya meritokrasi. Konsekuensi dari demokrasi seharusnya adalah terciptanya meritokrasi. Inti dari demokrasi adalah meritokrasi. Artinya, demokrasi yang kita miliki adalah awal dari terciptanya meritokrasi. Meski demokrasi kita sampai sekarang belum optimal menumbuhkan meritokrasi, tapi setidaknya sudah ada jalan untuk menuju ke sana.
Sektor yang sudah terlihat implementasi budaya meritokrasi dalam proses penciptaan kepemimpinan adalah sektor bisnis. Namun budaya ini masih belum terbangun di sektor publik atau pemerintahan. Beberapa usaha untuk menciptakan budaya meritokrasi adalah dengan proyek liberalisasi dan privatisasi. Akan tetapi, liberalisasi dan privatisasi terkadang disalahartikan sebagai upaya untuk menjual aset-aset negara kepada pihak asing. Padahal yang paling penting dari proses tersebut adalah perubahan budaya patriarkis menjadi budaya meritokratis. Institusi-institusi pemerintah dan perusahaan-perusahaan pemerintah adalah aset yang berharga bagi bangsa ini. Amat sangat disayangkan bila aset-aset tersebut tersendat perkembangannya hanya karena dijalankan dengan budaya patriarkis.
Tak hanya sektor publik, dunia politik pun juga tak luput dari proses transformasi budaya ini. Meski demokrasi menjadi prinsip dasar kita berpolitik, namun meritokrasi belum sepenuhnya terimplementasikan dalam dunia politik. Para politisi cenderung menggunakan pendekatan top down dalam berhubungan dengan konstituen. Konstituen masih dianggap sebagai modal yang dapat dibeli dan bukan tanggung jawab yang harus dipenuhi oleh para politisi. Walhasil, money politics masih merajalela di masyarakat kita. Suara layaknya saham ya bisa dibeli per lembarnya.
Kunci untuk menghasilkan individu yang mampu memotivasi dirinya untuk menajdi pemimpin terletak di pendidikan. yang Sudah saatnya, bangsa ini menerapkan pendidikan kepemimpinan yang menumbuhkan budaya meritokrasi mulai dari pendidikan terawal. Sekolah-sekolah kita harus mampu menciptakan budaya kepemimpinan sehingga individu-individu yang mendapatkan pendidikan tidak hanya mendapatkan knowledge tetapi jugaleadership experience. Dari segala macam masalah pendidikan di Indonesia, inilah permasalahan yang paling pelik namun sering kali dilupakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar