BENCANA GAYA HIDUP
Oleh Tabrani Yunis
Kemarin sore tanpa sengaja saya melewati rumah seorang dokter kecantikan di dekat rumah , hampir setiap mobil yang turun adalah ibu ibu yang merasa dirinya kurang, baik kurang kurus, kurang mulus dan kurang putih. Mereka yakin sekali dengan lebih kurus akan tampak lebih cantik. Mereka begitu yakin dengan lebih mulus mereka kian lebih sexy, mereka begitu yakin dengan memutihkan warna kulitnya mereka akan lebih anggun. Ini adalah pemandangan yang sangat manusiawi sekali. Namun adalah jaminan akan kebahagiaan dengan tercapainya keinginan mereka ? ( Melly Kiong dalam status facebook di hari Rabu 23 Maret 2011)
Membaca status Melly Kiong di atas, mengingatkan kita pada banyak fenomena kehidupan masyarakat kita yang terus digurus oleh arus globalisasi. Arus budaya yang sangat deras melanda masyarakat kita saat ini.Sebuah komunitas dunia yang menjadi konsumen produk-produk global untuk menutupi kelemahan atau kekurangan diri seorang konsumen. Biasanya gaya hidup yang serba konsumtif itu disebut-sebut budayanya para aktris selebritis yang selalu menghabiskan uangnya untuk menjaga kecantikan dan penampilan mereka yang cantik dan menarik, karena menjadi artis dan aktris, konotasinya selalu harus tampil cantik dan bahkan nyentrik. Lalu, terus berusaha menutup segala kekurangan dan kelemahan dengan berbagi produk global itu.
Berbicara soal kegemerlapan kehidupan artis dengan gaya konsumtifnya itu, mengingatkan kita akan apa yang pernah ditulis oleh Andar Nubowo dalam tulisannya di Vivanews.com, pada hari Kamis 24 Februari 2011. Ia menceritakan tentang kehidupan Zahia Dehar, gadis Perancis keturunan Aljazair yang mengaku biasa berkencan dengan para pesohor dan milyuner di Paris, London, New York dan Dubai. Di kalangan dunia malam, Zahia dikenal sebagai PSK bertarif super mahal. 2000 euro atau sekitar 24 juta rupiah sekali kencan.
Lebih lanjut tulis Andar Nubowo, ” Zahia Dehar, top escort girl yang terlibat skandal seks dengan pesohor bola Perancis Frank Ribéry dan Karim Benzema. Dalam sebuah majalah sosialita Entrevue (2/02/2011), Zahia Dehar dikabarkan menghabiskan uang belanja lebih dari 100.000 euro perbulan. 1 M rupiah perbulan! Setiap shopping, ia rogoh duit antara 6000- 12000 euro, dan setiap minggu ia keluarkan antara 2000-3 000 euro untuk potong rambut. Sebuah lifestyle berkelas superstar persis sosialita pewaris jaringan Hotel Hilton: siapa lagi kalau bukan Paris Hilton yang bikin heboh itu”
Gila bukan? Kita saat ini benar-benar telah dijerumuskan ke dalam budaya konsumtif yang kita ciptakan sendiri ketika kita mengikuti segala perubahan zaman yang bergerak sangat pesat. Impian untuk menikmati hidup yang serba materi dan instant. Bahkan disebut serba duniawi ini, seakan tidak pernah habisnya. Mengikuti budaya konsumtif berarti kita mewarnai hidup kita dengan keinginan atau impian untuk memiliki segalanya. Kita ingin hanphone yang model terkini. Tidak cukup satu, harus dua sampai tiga handphone, biar kelihatan sibuk dan sebagainya. Kita memaksa diri untuk membeli mobil yang sebanarnya belum mampu untuk dibeli, bahkan memilih cara kredit agar semua barang yang bermerek ada di rumah kita dan lain sebagainya.
Begitulah dahsyatnya budaya konsumtif menggerogoti masyarakat kita, termasuk kaum perempuan. Budaya ini sebenarnya bukanlah milik perempuan saja, karena budaya ini lintas gender. Namun realitasnya, sangat banyak perempuan yang menjadi umpan dan korban budaya konsumtif. Kaum perempuan yang terus menjadi objek dari produk-produk global yang menjanjikan sesuatu sebagai solusi untuk penemuhan selera dan keinginan. Perempuan yang secara alami memiliki berbagai kebutuhan dan keinginan yang besar terhadap produk-produk global tersebut, kini terus dicekcoki.
Gaya hidup konsumtif kini telah masuk di dalam urat nadi kita, bukan hanya milik para artis di megapolitan Jakarta yang menjadi kiblat kemajuan bagi kita dan perempuan di daerah – daerah di tanah air. Di negeri yang paling ujung Sumatera ini, ya Di Aceh. Budaya konsumtif sudah sangat fenomenal hingga ke daerah-daerah pedesaan.
Sebut saja namanya Nyak Sitti. Ini bukan nama sebenarnya. Perempuan setengah baya yang kini menjanda dan punya satu orang putera dan satu puteri ini sehari-hari kelihatan seperti tak habis-habisnya dengan gaya hidup. Ia memang kelihatannya tidak mau ketinggalan zaman. Trendy, modis dan fashionable seakan menjadi pilihan untuk kepuasan batinnya. Wajar saja, kalau penampilannya selalu saja berkilau dan terkadang kelihatan norak. Ia memang selalu tampil mengikuti kemajuan zaman, suka dengan makan makanan-makanan moderen, yang serba instant dan kelihatan berkelas. Ia suka dengan produk-produk MLM yang bisa dipesan kapan saja. Otomatis, pengeluaran untuk memenuhi gaya hidup itu, lumayan besar.
Secara ekonomi, semua orang di kampungnya tahu kapasitasnya, karena ia bukanlah dari kaum elitis. Ia hanyakaryawan di kantor yang memposisikannya di tempat yang mengelola keuangan organisasi. Bayangkan saja, untuk ukuran hidupnya sebagai staff kecil itu, ia sempat punya dua sepeda motor. Tujuannya, ya agar dilihat orang tidak kere. Bukan hanya itu, ketika orang-orang memiliki laptop, dia juga punya laptop. Jangan tanyakan dari mana uang ia peroleh untuk mendapatkan barang-barang tersebut, karena seperti kita ketahui sekarang fasilitas untuk mendapatkan kredit tersedia di mana-mana. Ingin mendapatkan sepeda motor, karena sekarang modalnya cukup dengan Rp 500.000- hingga Rp 1.000.000,- saja, selanjutnya tinggal angsur. Begitu juga dengan kebutuhan lain seperti kosmetika, pakaian dan lain-lain, bisa diperoleh dengan cara hutang, kreditan atau cicilan. Jadi mudah saja. Walau ujungnya, mengikuti gaya hidup yang serba konsumtif seperti ini, akan menjerat leher sendiri, karena terus dikejar-kejar dengan hutang. Jadi Nyak Sitti adalah salah satu korban dari bencana gaya hidup masa kini. Masih banyak korban lain.
Budaya konsumtif sudah memakan banyak sekali korban, bukan hanya kita, tetapi juga alam raya ini berupa kerusakan lingkungan hidup. Budaya konsumtif cendrung menjadi budaya yang suka mengkonsumsi sesuatu secara berelebihan untuk mengejar kesenangan pribadi yang bisa diartikan sebagai kenikmatan sesaat itu.Nilai-nilai manfaat sudah diabaikan, yang bermunculan adalah nilai-nilai penampilan berupa trade mark, yang bersifat simbul-simbul kegemerlapan hidup. Sayangnya, dalam konteks korban budaya konsumtif ini, yang banyak menjadi korban dari dampak buruk budaya konsumtif adalah para perempuan.
Sudah cukup banyak perempuan yang menjadi korban bencana budaya konsumtif terhadap perempuan di tahan air. Hanya karena ingin memiliki sesuatu yang wah, tetapi daya beli tidak ada, maka jalan pintas sering menjadi pilihan. Seorang isteri pejabat yang diterpa budaya konsumtif, akan mendorong suaminya menjadi koruptif. Seorang remaja puteri yang konsumtif dan tidak punya daya beli, membuat dia jual diri dan sebagainya. Seorang perempuan yang terus mengikuti gaya hidup konsumtif, cendrung terjerat dalam hutang dan bahkan terbawa arus hingga ke dunia PSK dan lain-lain.
Kenayataannya, di Aceh, ketika budaya konsumtif menggerogoti perempuan Aceh, sudah sangat banyak perempuan dari kalangan rakyat kecil dan juga kalangan elit yang terlilit hutang dari berbagai sumber lembaga dana, baik bank maupun non bank. Asal ada orang baru yang datang ke desa atau kampung mengadakan acara, maka dalam pikiran mereka selalu saja bertanya soal uang untuk dipinjam atau kredit. Kini mereka banyak yang terhempas tidak mampu membayar kredit konsumtif yang mereka ambil. Akibatnya ada yang lari menghindari hutang dan lain sebagainya.
Dalam banyak kasus, himpitan ekonomi dan desakan budaya konsumtif, seorang ibu bisa dan tega menjual anak gadisnya kepada sesorang. Sebagai contoh adalah SS (55) yang sungguh keterlaluan. Janda beranak dua, warga Sangkrah, Pasar Kliwon, Solo, itu tega menjual darah dagingnya sendiri kepada pengusaha kaya. Keluarga kurang mampu itu mengaku terpaksa melakukan hal tersebut lantaran keadaan ekonomi yang tak kunjung membaik, ditambah beban utang yang kian menggunung.
Lebih parah lagi adalah ketika seorang perempuan digeranyangi oleh keinginan untuk membeli sesuatu yang dia inginkan di luar kemampuannya, mendorong mereka menjadi semakin tertekan oleh keinginan yang sulit dibendung. Mereka akhirnya mudah diperdaya dengan berbagai cara hingga terjebak jurang hitam. Tentu cerita banyaknya ayam kampus ( mahasiswi yang melacurkan diri) di Aceh selama ini, bukanlah pepesan kosong. Selayaknya kita teliti.
Betapa penulis merasa kaget ketika suatu saat di tahun 2006, saat bertemu teman di Jakarta, ia bertanya, “semakin banyak ayam kampus yang cantik-cantik di Aceh sekarang ya? Pertanyaan itu, menghenyakkan hati , sambil bertanya apa maksudnya. Seperti orang bodoh dan berpura-pura tidak tahu saja. Padahal, pertanyaan itu sebenarnya sangat saya fahami. Tetapi, karena dikatakan di Aceh yang berstatus syariat Islam, penulis bersikap seperti orang yang tidak tahu.
Kini budaya konsumtif terus menggoda kita, baik laki-laki, maupun perempuan. Bedanya adalah posisi laki-laki dan perempuan dalam budaya itu yang tidak seimbang. Perempuan lebih banyak menjadi korban yang melebih dari bencana alam seperti tsunami dan banjir bandang yang kita ratapi. Sayangnya kita cendrung tidak mensikapi bencana budaya gaya hidup yang konsumtif itu. Akankah kita menuai dampak bencana konsumtif yang lebih besar? Mari kita berfikir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar