Bagi Taguikhou, seorang perajin harus kreatif. Berani berbeda dengan yang lain dan berani mencoba hal baru. Menjadi seorang pemahat bukanlah cita-cita Taguikhou kecil. "Saya sekolah hanya sampai kelas 3 SD." Taguikhou mencoba mengingat kembali masa kecilnya.
Hingga pada suatu ketika, Taguikhou kecil terperangah melihat seorang wisatawan memberikan beberapa lembar uang sebagai ganti sebuah patung kepada penjual souvenir. Dalam benak Taguikhou kecil, kejadian itu menginspirasinya bagaimana mendapatkan uang demi melanjutkan hidup.
Lahir dan besar di Desa Bawomataluo - sebuah desa eksotik tujuan wisata di selatan Kepulauan Nias, membuat Taguikhou kecil terbiasa melihat para perajin ‘mengubah’ potongan kayu menjadi benda bernilai seni, lalu dijual. Sebagian penduduk Desa Bawomataluo hingga saat ini menggantungkan hidup dari hasil menjual souvenir kepada wisatawan. Yang lainnya bekerja sebagai petani.
Satu hal yang membedakan Taguikhou dengan perajin lain adalah motif dan bentuk ukiran. Menurut pria yang kini berusia 47 tahun ini, motif dan bentuk ukiran yang berbeda mencirikan kreativitas seorang perajin. "Saya tidak mau dibilang peniru," ujarnya sambil menunjukkan sebuah ukiran lompat batu 3 dimensi, yang dijadikan sebagai mainan kalung.
Selain tampil beda, sebagian besar ukiran pria yang pernah mengikuti pelatihan mengukir di Pulau Bali pada tahun 1992 ini, memiliki tingkat kesulitan tinggi. Tampil beda dengan ukiran sejenis, tidak membuat Taguikhou menghargai mahal ukirannya. Berbagai produk ukiran Taguikhou dihargai mulai dari yang termurah Rp 15.000,- hingga patung lasara (hewan mitologi mirip naga yang dipercaya sebagai penjaga Desa Bawomataluo) seharga Rp 10.000.000,-.
Seperti contoh, sebuah ukiran kayu berbentuk papan selancar (surfing), dikerjakan selama dua hari dihargai Rp 200.000,-. Oleh perajin lain, harga yang ditawarkan sama, walau teknik dan motif ukiran berbeda. Selain papan selancar, produk ukiran yang rutin dikerjakan bapak enam anak ini, antara lain kambu-kambu (tempat perhiasan berbentuk bulat), asbak, kalung, timbangan emas, patung, sendok nasi dan piring. "Kalau ada pesanan khusus, saya juga terima, seperti pintu dengan ukiran khas Nias," ujar Taguikhou.
Untuk bahan baku, Taguikhou biasanya menggunakan kayu afoa, manawadano, dan berua. Semua jenis kayu itu diperolehnya dari hutan yang terletak tidak jauh dari tempat tinggalnya.
Berkah Festival Bawomataluo 2011
Festival Bawomataluo yang berlangsung 13 - 15 Mei silam membawa berkah tersendiri bagi Taguikhou. Selain penjualan produk ukiran meningkat drastis, warung makan yang dikelola istrinya, Karihati Telaumbanua, ramai dikunjungi oleh pengunjung.
"Kalau hari biasa pendapatan saya sekitar Rp 100.000,-, pada festival ini penjualan ukiran mencapai Rp 300.000,- hingga Rp 500.000,- sehari," ujar Taguikhou.
Sebelumnya Taguikhou sempat bingung tentang pelaksanaan festival budaya itu. Dia mendapat kabar dari panitia dua hari menjelang hari H. Harapan Taguikhou, acara sejenis Festival Bawomataluo 2011 menjadi agenda rutin, karena berdampak peningkatan penjualan souvenir. "Semenjak krisis moneter 1998, kunjungan wisatawan ke Bawomataluo menurun drastis," kata Taguikhou.
Berbagai produk ukiran dan pahatan perajin Desa Bawomataluo memiliki kualitas yang tidak kalah dengan produk sejenis di pasaran. Misalnya; piring, sendok atau tempat nasi dari kayu yang biasa digunakan restoran atau café dengan konsep tradisional di kota-kota besar. "Kami siap mengerjakan pesanan rutin, soal harga bisa miring. Yang penting pemuda-pemuda desa ini ada kesibukan," ucap Taguikhou, ketika ditanya kesiapannya menerima pesanan dengan jumlah besar.
Ketiadaan anggaran mempromosikan produk hasil kerajinan tersebut, menjadi persoalan pelik sebagian besar perajin di desa yang berada 450 meter diatas permukaan laut ini. Peran pemerintah daerah yang diharapkan meningkatkan kesejahteraan para perajin, dari tahun ke tahun hanya menjadi bualan kosong tanpa realisasi.
Akhirnya, perlahan namun pasti, para perajin tersebut gulung tikar dan sebagian memilih hijrah ke daerah seberang, mencari kehidupan yang lebih layak.
Peluang tetap ada, itulah yang diyakini Taguikhou. Tekad dan ketekunan yang dilakoninya selama 40 tahun sebagai perajin, telah mengubah nasib seorang anak putus sekolah menjadi agen budaya, lewat hasil kreasinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar