I. PENGENALAN ACUNG
(Amorphophallus variabilis BL.)Tanaman yang nama ilmiahnya Amorphophallus variabilis BL. ini perawakannya mirip, jenis Amorphophallus lainnya yang sudah dibudidayakan yaitu A. campanulatus. Perbedaannya terletak pada tangkai daunnya yang licin atau sedikit berbintil dan pada bagian mandul tongkol bunganya yang juga tidak berbintil. Pertumbuhan vegetatif dan bunganya keluar secara bergantian dari umbi batangnya yang berada di dalam tanah. Pada suatu musim, vegetatifnya yang berupa daun tunggal terpecahpecah dan ditopang oleh satu tangkai daun yang bulat, keluar beberapa kali dari umbinya. Oleh orang awam tangkai daun ini disebut batang. Jika masa berbunganya telah tiba, muncullah bunga tersebut dari tempat bekas keluarnya tangkai daun tadi. Jenis ini dalam bahasa daerah disebut acung, walur atau badul, dan di daerah Sunda juga disebut cocoan oray (mainan ular). Nama yang terakhir diberikan mungkin karena warna tangkai daunnya yang berbelangbelang mirip ular, sehingga kadangkadang diserang oleh ular karena disangka musuhnya.
Di Jawa dan Madura jenis ini tumbuh liar pada ketinggian di bawah 700 meter dpl dan biasanya tumbuh di tempat yang teduh. Tumbuhan ini belum dimanfaatkan, umbinya besar tetapi rasanya tidak enak dan memabukkan. Pada musimmusim paceklik, misalnya pada tahun 1925 orang memakan umbi ini setelah mengirisiris dan merendamnya beberapa malam sebelum dimasak. Pada masa pendudukan Jepang penduduk Jawa dikerahkan untuk mencari umbi tumbuhan ini, umbiumbi tersebut kemudian di kirim ke Jepang dan khabarnya disana disarikan untuk memperoleh zat yang digunakan dalam pembuatan bahan bakar pesawat terbang. Jenis ini sebenarnya mempunyai potensi, hanya saja belum digali. Cara budidayanya mungkin tidak berbeda dengan suweg. Beberapa hal yang penting diantaranya kandungan kimianya, senyawa racun yang dimilikinya, kegunaan serta pengaruh negetifnya perlu diteliti agar tumbuhan ini bisa dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya.
Selengkapnya...
Di Jawa dan Madura jenis ini tumbuh liar pada ketinggian di bawah 700 meter dpl dan biasanya tumbuh di tempat yang teduh. Tumbuhan ini belum dimanfaatkan, umbinya besar tetapi rasanya tidak enak dan memabukkan. Pada musimmusim paceklik, misalnya pada tahun 1925 orang memakan umbi ini setelah mengirisiris dan merendamnya beberapa malam sebelum dimasak. Pada masa pendudukan Jepang penduduk Jawa dikerahkan untuk mencari umbi tumbuhan ini, umbiumbi tersebut kemudian di kirim ke Jepang dan khabarnya disana disarikan untuk memperoleh zat yang digunakan dalam pembuatan bahan bakar pesawat terbang. Jenis ini sebenarnya mempunyai potensi, hanya saja belum digali. Cara budidayanya mungkin tidak berbeda dengan suweg. Beberapa hal yang penting diantaranya kandungan kimianya, senyawa racun yang dimilikinya, kegunaan serta pengaruh negetifnya perlu diteliti agar tumbuhan ini bisa dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya.
Selengkapnya...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar