Salah satu ciri bangsa maju adalah budaya baca dan tulisnya tinggi. Mereka umumnya rajin membaca dan menulis. Tulisannya berbobot sehingga diminati baik masyarakat itu sendiri maupun dibutuhkan oleh bangsa-bangsa lain. Bagi mereka membaca dan menulis merupakan bagian dari hidup dan buku sebagai kebutuhan pokok. Sehingga tidak heran produk buku dan media cetak lainnya cukup tinggi dan terus meningkat dari waktu ke waktu baik kualitas, kuantitas maupun jenis.
Begitu besarnya arti penting dan kemanfaatan membaca, maka masalah membaca oleh pemerintah kita mendapat perhatian serius, melalui pengadaan bahan bacaan di sekolah-sekolah. Namun, upaya dalam rangka membudayakan minat baca masyarakatnya belum begitu banyak perhatian, Kalaupun ada, mereka membaca sekadar untuk memperoleh informasi, menambah pengetahuan, bukanlah tujuannya. Inilah yang melahirkan bacaan-bacaan yang tidak bermutu (Bachtiar Nainggolan, 1996).
Semakian tingginya minat baca, erat hubungannya dengan tingkat pendidikan di negara tersebut. Demikan sebaliknya, dan seterusnya bisa mengukur tingkat ketinggian "moral" negara bersangkutan. Dengan membaca, negara tersebut dapat mengejar ketertinggalannya. Sebagai contoh, pada tahun lima puluhan, USA terkalahkan oleh Uni Soviet dalam perlombaan menaklukkan "ruang angkasa". Ternyata Rusia terlebih dahulu berhasil mengirimkan orangnya ke luar angkasa dari pada USA.
Dengan kekalahan tersebut, USA melalui presiden Kennedy menyatakan USA harus bisa mendaratkan orangnya di bulan serta menancapkan benderanya sebelum tahun 1970. Untuk mewujudkan impian itu Presiden Kennedy mengkampanyekan gerakan membaca di sekolah-sekolah dan mendukung perpustakaan sekolah dengan memberikan fasilitas belajar, buku, audio-visual, dan tentu saja dengan peningkatan mutu guru melalui penataran-penataran, dan tenaga pustakawan yang terdidik secara profesional. Terbukti, setahun sebelum tahun penentuan, yaitu tahun 1969 USA berhasil mendaratkan Neil Amstrong di bulan.
Karena itu, bukan hal yang aneh, jika isue-isue tentang rendahnya minat baca orang Indonesia terus bergulir. Bahkan lebih ironis lagi di kalangan perguruan tinggi, yang nota bene sebagai kelompok elit intelektual, juga masih ada kritik terhadap tradisi membaca, yang tidak hanya dialamatkan pada mahasiswa, tetapi juga terhadap para pengajarnya. Kritik itu menyebutkan, banyak juga dosen yang malas membaca. Akibatnya, mata kuliah dari tahun ke tahun isinya sama, dengan refrensi buku-buku yang telah ketinggalan jaman. Rendahnya minat baca dikalangan dosen tersebut, mudah dipantau dari kreativitas menulis, karena kemampuan menulis tidak bisa dipisahkan dengan kebiasaan membaca.
Revolusi Bacaan
Tiga tahun lalu di Inggris dan Amerika Serikat, diluncurkannya buku kelima serial Harry Potter, karya JK Rowling dengan judul "Harry Potter and the Order of the Phoenix". Buku tersebut kembali mendulang sukses dan "menyihir dunia", dan sangat laris bak kacang goreng, dan saat itu terjual sekitar 5 juta kopi.
Buku tersebut menjadi bahan bacaan berjuta-juta anak di Inggris dan Amerika Serikat, ini menunjukkan tingkat bacaan anak-anak Inggris dan Amerika Serikat sangat tinggi. Di Indonesia buku tersebut sudah diterbitkan oleh Gramedia Kompas, dibeli dan dibaca oleh anak-anak dari kalangan terbatas, sebab disamping tebal, harganya juga mahal. Fenomena ini menurut harian Kompas ( 29 Juni 2003), telah membongkar tesis tentang buku anak-anak selama ini, yaitu harus tipis dan cerah, atau banyak gambar..
Buku Harry Poter berisi, cerita kegelapan dunia sihir, ia mampu mengantarkan dunia kepada dunia pencerahan dan revolusi bacaan di Inggris dan AS pada jaman ini, dan mengembalikan anak-anak dari layar televisi dan komputer kepada buku. Pantaslah anak-anak di negara maju pendidikannya tinggi dan cerdas-cerdas. Budaya membaca inilah yang belum ada pada diri orang Indonesia. Inilah salah satu penyebab mengapa negara kita masih terbelakang dari beberapa aspek. Bagaimanapun membaca adalah gerbang pengetahuan dan kearifan.
Mengutip laporan Bank Dunia Nomor 16369-IND, dan studi IEA ( International Association for the Evaluation of Education Achicievement) di Asia Timur, tingkat terendah membaca dipegang oleh negara Indonesia dengan skor 51,7, di bawah Filipina (skor 52,6), Thailand ( skor 65,1), Singapura (skor 74,0), dan Hongkong (skor 75,5). Bukan itu saja, kemampuan orang Indonesia dalam menguasai bahan bacaan juga rendah, hanya 30 persen. Data lain juga menyebutkan (UNDP) dalam Human Report 2000, bahwa angka melek huruf orang dewasa Indonesia hanya 65,5 persen. Sedangkan Malaysia sudah mencapai 86,4 persen, dan negara-negara maju seperti Jepang, Inggris, Jerman, dan Amerika Serikat umunya sudah mencapai 99,0 persen.
Jika ada pertanyaan, negara mana prosentase membaca korannya paling tinggi? Maka Jepang harus salah satu nominasi. Menurut kalangan pers Jepang, tiras koran yang beredar setiap hari mencapai 60 juta. Padahal penduduk Jepang hanya 125,6 juta.
Kita harus belajar pada negara Jepang. Negara Jepang, mungkin salah satu komunitas masyarakat dunia yang paling tinggi gemar membaca. Di Stasion Kreta Api, terminal bus atau antrean calon penumpang taksi, dengan mudah ditemukan orang-orang yang sedang membaca. Bahkan tidak sedikit yang tetap membaca sambil berjalan dengan langkah-langkah cepat.
Sementar orang Indonesia, kalau sedang antre di Stasion Kreta Api atau menunggu bus di terminal, mereka tidak membaca, tapi otak atik HP, ngobrol, menceritakan berapa jumlah tabungannya, berapa jumlah kendaraannya, berapa jumlah rumahnya, berapa luas tanahnya.
Di Jepang rata-rata pembaca koran 1:2 sampai 1:3. Artinya, tiap dua atau tiga penduduk, satu diantaranya baca koran. Mungkin tiap rumah di Jepang berlangganan satau sampai dua Koran, sehingga tidak heran banyak mempengaruhi hidup mereka dalam banyak aspek, seperti cultural, ilmiah, sosial, ekonomis, demokratis, dan kreativitas individu.
Memang tidak dapat dipungkiri bahwa kebiasaan membaca masyarakat kita selama ini belum tumbuh menjadi budaya. Apalagi dijadikan suatu kebutuhan pokok sehari-hari. Suatu hal yang masih langka dan butuh perjuangan dan serta kesabaran. Karena itu, munculnya sinyalemen rendahnya minat baca orang Indonesia, bukanlah sesuatu hal yang berlebihan, dan memang itulah kenyataannya.
Beberapa indikasi rendahnya minat baca orang Indonesia, nampak jelas, misalnya ditinjau dari jumlah terbitan judul buku pertahunnya dengan ratio perbandingan dengan jumlah penduduk masih rendah. Menurut PBB rasionya baru 35 judul buku bagi satu juta penduduk. Sedangkan untuk surat kabar, satu surat kabar, masih dibaca oleh sekitar 25 orang. Angka yang ideal yang ditoleransikan PBB adalah 10 orang untuk satu koran. Tolok ukur lainnya juga dapat dilihat dari jumlah pengunjung masyarakat yang membaca di perpustakaan.
Bila isu rendahnya minat baca masyarakat disebabkan faktor daya beli yang rendah, seharusnya faktor ini dapat ditutupi dengan keberadaan perpustakaan. Tetapi kenyataannya, kehadiran perpustakaan kurang memancing masyarakat untuk bergairah membaca. Selain itu masyarakat kita sudah telanjur semakin akrab dengan budaya audio-visual yang kebanyakan berisi hiburan, maka tepatlah kalau negara kita mendapat sebutan minat bacannya rendah.
Beberapa upaya
Dalam rangka mengembalikan minat baca orang Indonesia terutama anak-anak dan membaca menjadi sebuah budaya, maka tidak ada cara lain selain melalui upaya kampanye gemar membaca di kalangan masyarakat atau anak-anak kita, melaui keluarga, sekolah, pemerintah, media, maupun tempat-tempat wisata.
Pertama, melalui keluarga. Keluarga adalah pertama dan utama proses pendidikan anak berlangsung. Oleh karena itu keluarga harus menciptakan kondisi membaca dan menyediakan bahan bacaan yang murah. Minat baca anak-anak banyak dipengaruhi teladan orangtua. Jika suasana keluarga (rumah) diciptakan sebagai "sekolah yang hidup" akan sangat membantu sekolah sebagai rumah kedua anak-anak belajar. Mendorong anak-anak membaca di rumah berarti membantu anak-anak kita memahami dunia dan hidupnya. Oleh sebab itu tingkatkan kepercayaan diri anak kita dengan memperlakukannya seperti seorang ahli membaca dan jumlah bacaan yang mereka baca. Jika rumah tidak dibiasakan dalam kebiasaan membaca, maka kerugian besar tidak dapat dihindari, yakni keluarga atau anak-anak tidak banyak tahu. Jika keluarga atau anak-anak tidak banyak tahu ia lebih dekat dengan kebodohan. Demikian sebaliknya, jika kebodohan menimpa keluarga atau anak-anak, maka ia lebih dekat dengan kemiskinan.
Kedua, sekolah. Sekolah juga mempunyai peranan sangat penting untuk membudayakan minat baca siswa, melalui cara menerbitkan daftar buku untuk buku anak, mengadakan lomba minat baca, memilih siswa teladan membaca buku terbanyak, menjalin kerjasama antarperpustakaan sekolah dalam promosi membaca, memberi tugas membaca setiap minggu dan melaporkan hasil bacaan, menciptakan permainan-permainan yang mempromosikan minat baca, menceritakan orang-orang sukses sebagai hasil bacaan, menugaskan siswa untuk menyusun abstrak atau sinopsis dari buku-buku yang dibaca, menerbitkan majalah dinding, menyelengarakan jam cerita (story telling) kepada para siswa secara periodik, memberikan hadiah buku untuk hari ulang tahun siswa dan untuk yang berprestasi tinggi, mengajak siswa ke tempat-tempat penerbitan suarat kabar, misalnya Kompas, KR, Bernas, dan sebagainya.
Oleh sebab itu, maka sekolah harus pandai menyediakan bacaan yang menarik bagi siswa, sebab tak jarang anak-anak tidak akan pernah duduk tenang dan membaca sepanjang waktu, jika sekolah tidak menyediakan bacaan yang menarik bagi anak.
Ketiga, Pemerintah. Pemerintah menyediakan bahan bacaan yang murah bagi sekolah-sekolah atau menyediakan bahan bacaan di kantor desa, kecamatan, kantor bupati, sampai kepada kantor-kantor dinas pemerintah, sehingga pada waktu senggang anak-anak atau orang-orang yang sedang menunggu pelayanan pemerintah bisa menggunakan waktu untuk membaca. Selain itu pemerintah harus menegakkan hukum bagi pelanggaran hak cipta. Sebab hal satu ini menyebabkan minimnya jumlah cetakan buku atau rendahnya gairah menulis bagi orang Indonesia.
Keempat, Media ( terutama media elektronik). Media elektronik, diharapkan menyediakan ruang untuk mengkampanyekan gemar membaca, melalui tayangan-tayangan yang menarik, sebab tak jarang pengaruh media elektronik, anak-anak kita menjadi malas membaca buku.
Kelima, tempat wisata. Tempat-tempat wisata seperti, kebun binatang, wisata pantai, wisata hutan atau tempat wisata lainnya, harus menyediakan gubuk bacaan anak-anak, paling tidak informasi mengenai jenis-jenis margasatwa atau jenis biota laut ataupun jenis tanaman. Demikian juga mall, sebagai wista alternatif di kota, diharapkan disediakan pojok-pojok bacaan anak-anak, sehingga anak-anak selepas berbelanja bisa membaca di pojok tersebut. Manfaatnya untuk mencegah mentalitas materialistis pada anak-anak kita.
Mengingat tantangan masa depan semakin berat, dan perkembangan iptek semakin laju dengan cepat dan menuntut SDM yang berkualitas, maka dengan membaca kita dapat menyerap informasi sebanyak-banyaknya, yang pada akhirnya bisa membentuk manusia cerdas dan kritis. Memang banyak kendala yang dihadapi, tapi kalau tidak dimulai, minat baca hanya dibibir saja. Kita perlu membangun tekat yang kuat dan memahami bahwa mencerdaskan kehidupan bangsa harus dimulai dengan membaca. Untuk menciptakan masyarakat belajar sepanjang hayat, melalui masyarakat membaca, harus ada gerakan dan keterpaduan dari semua unsur terkait. Meminjam pepatah dalam bahasa Inggris yang berbunyi You are what you eat, kita dapat mengubahnya menjadi You are what you read.
Membaca dapat menentukan kualitas seseorang, bahkan kualitas bangsa. Sebab dengan membaca kita dapat mengantarkan anak-anak (individu) yang mencerahkan. Individu yang mencerahkan adalah individu pembelajar, dan inilah yang dikatakan sebagai "manusia pembelajar". Dan sekaligus membawa perubahan mental, baik cara pandang, sikap maupun perilaku. Dengan membaca kita mengetahui dunia dan mampu bersaing dengan Negara lain, dengan menulis kita mempengaruhinya, inilah yang dibuktikan oleh JK Rowling dengan karya Harry Potternya.
*Ben Senang Galus, staf Dinas Pendidikan Prop. DIY