Oleh: Thoriq
SEBENARNYA, kita tidak punya urusan dengan masalah ini, karena merupakan urusan rumah tangga seseorang. Banyak orang yang melamar para gadis dan ingin menikah dengan mereka, kadang berhasil dan kadang juga gagal, merupakan hal yang biasa. Demikian ungkapan Syeikh Abu Hasan Ali An Nadawi, dalam buku beliau, Al Qadiani wa Al Qadianiah (Cet. Jeddah, th. 1967, hal. 112), saat akan membahas mengani kegagalan Mirza menikahi gadis belia yang bernama Muhammadi Begum.
Namun, karena hal ini merupakan kejadian yang masyhur dan Mirza mengklaim bahwa pernikahan ini berdasarkan wahyu, maka sangat menarik untuk dibahas.
Ulama India yang juga pendiri Rabithah Alam Islami ini sengaja menjadikan sumber-sumber Ahmadiyah sebagai rujukan. Demikian ringkasan mengenai kajian pendiri Universitas Nadwatul Ulama Lucknow ini.
Saat itu, tahun 1888, Mirza Ghulam Ahmad berkeinginan untuk menikah lagi dengan gadis yang bernama Muhammadi Begum, anak dari Al Mirza Ahmad Bek, yang merupakan putra dari bibinya. Namun tidak seperti selayaknya laki-laki yang hendak meminang, Mirza Ghulam Ahmad mendatangi keluarga si gadis dengan menebar ancaman sekaligus janji. Jika pihak keluarga si gadis menerima pinangannya, maka hal itu akan memberikan keberkahan yang besar, namun jika ditolak maka sesuatu yang buruk akan terjadi kepada si gadis. Jika dinikahkan dengan pemuda lain maka, suaminya itu akan mati setelah dua setengah tahun. (lihat, Ainah Kamalat Islam, hal. 552)
Mirza juga mengatakan,”Allah telah memberi kabar kepadaku, ‘gadis Al Mirza Ahmad Bek yang paling besar (Muhammadi Begum) akan menjadi istrimu dan keluarganya akan memusuhimu. Dan mereka melarangmu dan berupaya keras untuk mengagalkan hal itu (pernikahan). Akan tetapi Allah akan mewujudkan janjinya dan memberikan kepadamu baik dalam keadaan gadis mapun janda dan hilanglah penghalang dan hal ini terwujud. Tidak ada yang bisa menolak terhadap apa-apa yang ditetapkan Allah.’” (Izalah Auham, hal. 396)
Mirza sendiri mengirimkan pernyataan kepada para ulama India bahwa pernikahan tersebut merupakan takdir mubram (yang tidak berubah), dan itu merupakan timbangan untuk kebanaran atau kebohongannya. (lihat, Asmani Faisilah, hal 223)
Kala itu, baik Muslim, Kristen, maupun penganut Hindu dan Yahudi sudah mendengar klaim wahyu dari Mirza mengenai masalah ini, karena Mirza sendiri juga telah mempublikasikannya, baik di media masa dan buku yang ia sebarkan.
Namun, apa yang terjadi? Ternyata pihak si gadis akhirnya menolak pinangan tersebut. Mereka malah bertekad untuk menikahkan gadis tersebut dengan seorang pemuda yang bernama Al Mirza Sulthan Muhammad.
Mirza sendiri terus melakukan pendekatan kepada pihak si gadis. Kali ini dengan mengirim surat kepada Ahmad Bek, selaku orangtuanya dan kepada seluruh anggota keluarganya dengan cara persuasif dan menghindari ungkapan-ungkapan ancaman, seperti yang dilakukan sebelumnya.
Selain kajian Syeikh Abu Al Hasan, ulama India sebelum beliau, Syeikh Anwar Syah Al Kasyimir, ulama hadits dari Madzhab Hanafi yang hidup di masa Mirza juga menyebutkan bahwa Mirza berupaya dengan memberi iming-iming orangtua si gadis dengan harta dan properti, sebagaimana dalam kitab beliau Aqidah Al Islam fi Hayati Isa Alaihissalam. (Dinukil oleh Syeikh Abdul Fattah Abu Ghuddah dalam ta’liq, At Tashrih, cet. Kairo, 2002, hal. 40)
Namun, pihak si gadis tetap menolak ajakan tersebut, bahkan mereka memutuskan untuk menikahkan Muhammadi Begum dengan Al Mirza Muhammad Sulthan pada tanggal 7 April 1892. Bahkan, isteri anaknya Fadhlu Ahmad juga tidak setuju akan keputusan mertuanya itu, hingga Mirza memerintahkan anaknya agar mencerai sang menantu.
Saat itu, para pengikut Ahmadiyah akhirnya berdoa di masjid-masjid agar ancaman kecelakaan bagi wanita dan suaminya karena telah nekad menikah terwujudkan, seperti apa yang diklaim Mirza Ghulam Ahmad.
Walau Muhammadi Begum sudah menikah, Mirza belum berputus asa, dalam pengadilan ia bersumpah dan mengatakan,”Kenyataannya memang wanita itu tidak menjadi istriku. Akan tetapi aku akan menikahinya sebagaimana dalam wahyu dan mereka yang menentangku akan menyesal. Dan mereka yang bergembira (karena kegagalan pernikahan tersebut) akan malu dan kebingunan sendiri. Sesungguhnya wanita itu masih hidup dan diberi rezeki. Sautu saat ia akan menjadi istriku. Hal itu bukanlah angan-angan namun merupakan kayakinan yang tidak ada keraguan di dalamnya.” (Al Hukm Qadian, vol. 5, no. 1009, Agustus 1901)
Abu Hasan Ali An Nadawi menyebutkan bahwa ternyata, setelah keduanya menikah, tidak terjadi apa-apa terhadap wanita tersebut. Dan setelah waktu berlalu dua setengah tahun, suaminya Al Mirza Sulthan Muhammad juga baik-baik saja. Bahkan, setelah Mirza Ghulam Ahmad meninggal, Sulthan Muhammad masih hidup bersama isterinya hingga perang dunia pertama. (lihat, Al Qadiani wa Al Qadianiah, hal. 113-115)
Syeikh Anwar Syah Al Kasymiri juga menyebutkan dalam Aqidah Al Islam fi Hayati Isa Alaihissalam bahwa pasangan tersebut juga telah dikaruniai beberapa anak. Padahal sebelumnya, Mirza telah mengatakan, kalau sampai ia tidak bisa menikah dengan wanita tersebut, maka ia adalah orang yang paling menjijikkan dari hal-hal yang menjinjikkan. (dinukil Syeikh Abdul Fattah dalam Ta’liq At Tashrih, hal. 40)
Kehidupan Rumah Tangga Sang Pengaku Nabi
Sebelumnya, Mirza Ghulam Ahmad pertama kali menikah pertama tahun 1852 atau 1853. Dari pernikahan ini, ia memperoleh 2 anak. Kemudian pada tahun 1884 ia menikah lagi di Delhi. Namun, pada tahun 1891 terjadi perceraian, antara Mirza dengan istri pertamanya. Istri kedua ini oleh para pengikut Ahmadiyah disebut dengan penggilan “ummul mukminin”. (Sirah Al Mahdi, 1/53)
Putra Mirza dari istri pertama yang bernama Fadhl Ahmad enggan mengikuti seruan ayahnya itu, hingga ketika meninggal ia pun tidak dishalati oleh ayah kandungnya tersebut, walau dalam urusan duniawi ia taat kepadanya. (lihat, Anwar Khilafat, hal. 91)
Mengenai gaya hidup keluarga Mirza, Khawajah Kamaluddin pernah mengeluh baik kepada Muhammad Ali, pemimpin Ahmadiah Lahore maupun Syeikh Surur Syah yang juga pengikut Al Qadiani, dimana anak-anak perempuan dan istrinya mulai menentang pengiriman uang ke Qadian, setelah mereka pergi ke tempat itu dan tinggal sesaat.
Anak-anak dan istrinya mengatakan,”Kami telah menyaksikan kehidupan nabi, para sahabatnya dan istri-istrinya di Qadian. Sesungguhnya mereka hidup dalam kenikmatan.” Mereka merasa ditipu, dan setelah itu mereka tidak mau menyumbangkan uang ke tempat itu lagi. (lihat, Kasyfu Al Ikhtilaf, hal. 13)
Khawajah Kamaluddin juga pernah mengatakan kepada Muhammad Ali,”Sesungguhnya Hadzrat Mirza telah memerintahkan kita untuk berinfaq untuk dakwah, sedangkan ia sendiri hidup dalam kebanggan dan kenikmatan.” Muhammad Ali menjawab,”Sesungguhnya saya tidak bisa memungkiri hal ini, namun kita tidak diharuskan untuk mengikuti nabi dalam sifat manusiawinya.” (Haqiqah Al Ikhtilaf, hal. 50)
Kematian Pasca Mubahalah
Pada tahun 1907, setelah memiliki banyak pengikut, Mirza mengadakan mubahalah dengan Maulana Tsana’ullah Amritsari, dengan resiko barang siapa berbohong salah satu diantara keduanya, maka ia akan mati. (Tabligh Ar Risalan, 10/120)
Pada bulan Mei tahun 1908 Mirza terjangkiti penyakit kolera parah dan akhirnya meninggal. Ia dimakamkan di pemakaman yang ia pemakaman surga (Bahesti) di Qadian. Sedangkan Maulana Tsanaullah Amritsari sendiri baru wafat pada tahun 1948.
Penulis adalah seorang jurnalis Muslim dan penuntut ilmu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar