VIVAnews - Satu minggu setelah gempa yang memakan 160 korban tewas di Selandia Baru, negara tersebut mengalami lonjakan jumlah kelahiran. Di Canterbury, kawasan yang terimbas gempa, rumah sakit bersalin kebanjiran pasien. Sebagian pasien yang baru melahirkan bahkan sampai terpaksa dipindah ke rumah sakit lain.
Naiknya tingkat kelahiran juga terjadi setelah kawasan itu dilanda gempa berskala 7,0 SR pada September tahun lalu.
Lonjakan tingkat kelahiran tidak hanya berlangsung segera setelah bencana alam menerjang, akan tetapi juga sekitar sembilan bulan setelahnya.
Sebagai bukti, gempa dengan skala 8,8 SR yang menghantam Chile pada 27 Februari 2010 diikuti dengan baby boom (lonjakan kelahiran) pada sembilan bulan setelahnya. “Kami mendapati kenaikan pasien kehamilan di kawasan yang paling parah terkena gempa,” kata Jaime Manalich, menteri kesehatan Chile.
Hal serupa terjadi sembilan bulan setelah gempa yang memporakporandakan Haiti, 12 Januari 2010. Menurut survei kesehatan reproduksi yang dilakukan oleh United Nations Population Fund (UNPF), tingkat kelahiran di kawasan pelosok negeri itu naik tiga kali lipat setelah bencana.
“Hancurnya infrastruktur salah satu penyebabnya. Sebagian besar rumah sakit tidak mampu melayani warga,” kata Igor Bosc, juru bicara UNPF. “Akibatnya, banyak yang tidak bisa menemukan berbagai alat kontrasepsi,” ucapnya.
Meski sulit mencari alat kontrasepsi, korban selamat justru lebih aktif berhubungan seks. Menurut Fredrick Jean Pierre, pengamat kesehatan asal Haiti, seks merupakan salah satu cara meredakan stres. Dalam situasi kacau, orang-orang berusaha menata kembali hidup mereka.
“Banyak wanita yang menyerahkan diri mereka pada pria untuk mendapatkan perlindungan di camp pengungsian atau terpaksa ‘menjual diri’ demi mendapatkan makanan atau air,” kata Pierre. “Kadang ini satu-satunya cara dan kejadian ini cukup sering terjadi,” ucapnya.
Tak hanya di negara berkembang, di negara maju fenomena ini juga terjadi. Pada November 1965, saat terjadi mati lampu total di kawasan timur laut AS selama 12 jam yang, sembilan bulan kemudian terjadi lonjakan tingkat kelahiran.
“Saat mati lampu, tidak ada yang bisa dilakukan oleh 30 juta orang di kawasan yang terkena gangguan listrik tersebut selain berinteraksi dengan orang lain yang ada di dekatnya,” kata Paul Siegel, sosiolog dari American Sociological Association
Tidak ada komentar:
Posting Komentar