Benarkah ada ikatan batin antara ibu dengan bayinya? Jawabannya, benar. Pengalaman ini saya alami ketika harus meninggalkan bayi saya, Raihan yang berusia 14 bulan dan masih menyusu, untuk urusan pekerjaan. Padahal, saya berkomitmen memberikan ASI eksklusif selama dua tahun kepadanya.
Beberapa hari sebelum keluar kota, saya persiapkan mental anak saya dengan mengajaknya bicara, “Raihan, Mama pergi ke Yogya beberapa hari. Selama Mama tinggal, Raihan mimi (minum, dalam bahasa Jawa) susu formula dulu ya. Nah, nanti kalau Mama sudah pulang, Raihan nyusu lagi sama Mama ya, Nak!”
Saya sampaikan kata-kata ini kepadanya dalam berbagai kesempatan. Saya yakin Raihan memahami bahasa saya seperti saya memahami bahasa 'planet'-nya menurut versi saya sendiri. Selain menyiapkan susu untuk Raihan, saya juga minta tolong kepada suami agar selalu menghadirkan sosok saya lewat foto dan bercerita tentang saya kepada buah hati kami itu di saat saya pergi.
Bismillah! Saya berangkat dengan bekal pasrah dan yakin Allah akan menjaganya. Alhamdulillah, pekerjaan saya selesai tepat waktu sehingga saya dapat menumpahkan rindu kepada suami dan Raihan.
Subhanallah, sungguh ajaib! Raihan tak sedikit pun melupakan sosok saya ketika kami berjumpa. Bahkan ia langsung lengket dan menyusu pada saya seolah kami tak pernah berpisah.
Sikap Raihan ini berbeda dengan sebelumnya saat saya meninggalkannya tanpa persiapan. Saat itu saya sibuk dengan pekerjaan kantor sehingga pamit kepadanya pun sekadarnya. Saat pulang, alangkah kagetnya ketika dia menatap saya aneh, rewel, menangis, dan meronta sekuat tenaga. Sedih hati ini mendapat penolakan dari buah hati.
Menyadari kekeliruan, saya pun segera minta maaf sepenuh hati kepada Raihan. Dengan tatapan lembut, saya berkata, “Maafin, Mama ya sayang. Mama sudah ninggalin Raihan tanpa pamit yang pantas, jarang main dan menyusui Raihan. Mama ingin Raihan menyusu lagi sama Mama.” Setelah tiga hari menolak saya dan selama itu pula saya terus meminta maaf padanya, subhanallah, berangsur-angsur Raihan kembali menyusu dengan antusias.
Pengalaman komunikasi ini sungguh mengesankan. Setelah mencoba sekali, saya ketagihan dan terus mempraktekkannya. Optimisme terus menjalar dalam jiwa saya. Sekali pun bahasa yang kami gunakan berbeda tapi dengan menggunakan bahasa ajaib yang dimengerti hanya oleh saya dan Raihan, kami bisa berkomunikasi dengan baik. Tentunya, ini akan menambah rasa percaya diri Raihan agar tak malu mengungkapkan apa pun yang ada dalam benaknya.
Saya jadi memahami, sebagai ibu saya tidak perlu mengomel atau marah dengan bahasa yang belum tentu dipahaminya, saat anak saya melakukan kesalahan. Karena saya tahu, Raihan mengerti, dan semua anak mengerti bahasa ibunya, asal diucapkan lembut, tulus dan penuh kasih sayang.
Saya juga menyadari, sekali pun Raihan masih kecil, dia adalah manusia seutuhnya. Manusia yang ingin dihargai dan dihormati selayaknya manusia dewasa. Mereka bukanlah sosok pasif yang tak mengerti apa pun. Pastinya, ibu dan bayi punya bahasa rahasia yang saling dimengerti. Jadi, tak ada salahnya bukan jika kita membicarakan apa saja, termasuk kegiatan kita di kantor, kepada bayi kita?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar