Saya Tiara, 1987 saya dinyatakan mengidapSystemic Lupus Erythematosus (SLE) atau yang akrab disebut lupus. Awalnya dokter sendiri masih belum tahu apa itu lupus. Dokter hanya berusaha memberikan obat sesuai keluhan yang saya sampaikan. Ketika ada bercak merah di kulit, saya diberi obat alergi. Saya demam tinggi diberi obat penurun demam, sariawan, nyeri sendi, rambut rontok, anemia, trombosit rendah semua diberi obat untuk penyakitnya saja. Ternyata semua itu gejala lupus. Sembilan tahun kemudian penyakit saya kambuh dan langsung menyerang ginjal. Saat itu, oleh dokter, orang yang mengalami bocor ginjal parah dinyatakan hanya memiliki kesempatan hidup 20%. Alhamdulillah hingga hari ini saya berhasilsurvive dan hidup normal bersama putra saya.
Tiara Savitri, penderita lupus, pendiri Yayasan Lupus Indonesia (YLI)
Lupus, penyakit autoimun (kekebalan tubuh) yang menyerang manusia. Hingga saat ini penyebab dan pengobatannya belum diketahui pasti. Namun, dunia kesehatan sepakat ini adalah kelainan DNA.
Allah membekali tubuh manusia dengan 'pasukan' yang menangkal benda-benda asing jahat masuk dan melukai tubuh. Dalam dunia kedokteran pasukan ini disebut antibodi. Benda asing yang menyerang tubuh dinamakan antigen. Namun, pada sebagian orang, antibodi yang dihasilkan melebihi kapasitas normal. Akibatnya, ia tak bisa mengenali antigen dengan tepat. Dengan kata lain antibodi seseorang menyerang tubuhnya sendiri. Inilah yang dinamakan penyakit autoimun.
Penyakit yang ditemukan Edwar Jenner (1749-1822) ini memang sulit dikenali. Ia menyerang sesukanya ke kulit, darah, ginjal, kelenjar tiroid, sendi, hati, tulang, jaringan, fertilitas pada pria, dan masih banyak lagi. Tak mengherankan jika dokter hanya memberikan obat yang terkait dengan keluhan pasien, seperti pada kasus Tiara.
Beberapa penyakit yang dikategorikan penyakit autoimun adalah Tiroiditis Hasimoto (peradangan kelenjar tiroid), Arthritis Rematoid (peradangan pada sendi), Sindrom Goodpasture (sindroma ginjal paru), Multiple Sclerosis (menyerang sistem syaraf) dan Systemic Lupus Erythematosus (SLE).
Menurut Dr dr Iris Rengganis, SpPD, K-AI, jika ada ruam-ruam merah di kulit, kelelahan yang tidak wajar dan nyeri sendi berlebihan, penting untuk segera memeriksakan diri ke dokter penyakit dalam. Keadaan di atas, digabung dengan hasil laboratorium, radiologi dan biopsi, jika hasilnya menunjukkan positif maka itu autoimun.
Meski demikian, tidak perlu panik dan takut. “Penderita penyakit autoimun juga bisa menjalani hidup seperti orang normal, asal minum obat teratur dan rutin konsultasi dokter,” tambah staf pengajar departemen penyakit dalam FKUI/RSCM ini. Bahkan tak ada larangan bagi penderita untuk berolahraga, asal bukan olahraga yang berat, seperti berenang, jalan kaki, lari, badminton dan senam. Hindari aerobik dan sepak bola yang sangat menguras tenaga.
Perlu ditegaskan, penyakit autoimun bukanlah penyakit menular dan turunan. Uniknya, penyakit ini banyak menyerang perempuan usia produktif dan anak-anak. Hingga kini belum ada yang mengetahui penyebabnya.
Karena yang rusak adalah gen antibodi tubuh maka sulit menyembuhkannya. Namun ada terapi agar penyakit tidak merambat ke organ penting, seperti ginjal, paru-paru dan otak, yakni penderita harus mengenali dan memahami alarm tubuh dengan benar. Jika dirasa sudah lelah, jangan tunda istirahat. Penderita yang mengalami kelelahan memuncak bisa berakibat fatal hingga berujung kematian.
Apa itu Lupus?
Lupus berasal dari bahasa Latin yang artinya serigala. Nama ini pertama kali digunakan oleh dr Rogerius, seorang dokter yang hidup pada abad ke-13. Ia mengaitkan ruam-ruam merah pasien yang ditanganinya dengan gigitan serigala. Publikasi pertama tentang penyakit ini baru terjadi pada abad 18.
Ada sebelas jenis lupus yang menyerang manusia tapi hanya tiga yang memiliki persentase terbanyak. Pertama, Cutaneus Lupus atau discoid yang banyak memengaruhi kulit. Kedua, Systemic Lupus Erythematosus (SLE) menyerang organ tubuh seperti kulit, persendian, paru-paru, darah, pembuluh darah, jantung, ginjal, hati, otak, dan syaraf. Ketiga, Drug Induced Lupus (DIL) yang muncul karena penggunaan obat-obatan (hydralazine, quinidine dan procainamide, isoniazid, d-penicillamine) tertentu, setelah dihentikan biasanya akan menghilang dengan sendirinya.
Lupus juga disebut great imitator, karena begitu piawai menyerupai penyakit lain. Tak mengherankan banyak dokter yang terkecoh hingga salah mendiagnosis. Hampir seluruh organ tubuh bisa terkena penyakit ini.
Tak ada pengenalan dini yang mampu mengidentifikasi penyakit ini. Penderita dinyatakan positif setelah menjalani serangkaian pemeriksaan laboratorium. Namun ada gejala yang bisa dikenali ketika lupus bersemayam di tubuh (lihat Kenali Gejala Lupus).
Berdasarkan data Yayasan Lupus Indonesia (YLI), dari sekian banyak penderita autoimun, lupus menduduki peringkat pertama. Tiara Savitri, pendiri YLI, menyatakan jumlah odapus (orang dengan lupus) di Indonesia yang teridentifikasi sebanyak 10.000 orang. “Kita belum dapat data yang lengkap dari Depkes, namun kira-kira ada 1,5 juta orang Indonesia terkena lupus. Namun sebagian belum uji laboratorium, baru dilihat dari gejalanya saja.”
“Apalagi masih sedikit dokter Indonesia yang mampu menangani penyakit ini,” ujar Tiara. Di Jabodetabek, misalnya, hanya ada satu rumah sakit pusat perawatan lupus, yatu RS Kramat 128 di Jakarta. Di Indonesia pun hanya ada lima tempat yang mewakili YLI yaitu Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Belitung, dan Balikpapan.
MMP3 Deteksi Dini Arthritis Rematoid
Penyakit autoimun lain yang penting untuk diketahui adalah Arthritis Rematoid (RA). Karena setelah diteliti, RA lebih banyak menyerang wanita dibanding laki-laki. RA adalah penyakit autoimun yang mengakibatkan peradangan dalam persendian. Biasanya ditandai dengan radang pada membran sinovial dan struktur-struktur sendi serta atrofi otot dan penipisan tulang. RA mengakibatkan nyeri, kemerahan, bengkok dan panas di sekitar sendi.
Umumnya RA menyerang sendi-sendi bagian jari, pergelangan tangan, bahu, lutut, dan kaki. Pada stadium lanjut, penderita akan kesulitan melakukan kegiatan sehari-hari. Sayangnya seringkali penyakit ini tidak terdeteksi dini. Sebabnya, gejala yang dialami mirip dengan penyakit kebanyakan seperti demam, berat badan menurun, lemah dan anemia. Bahkan tidak jarang pula penderita tak merasakan gejala apa pun.
Namun sekarang ada perkembangan yang positif. Temuan inovatif dari putra bangsa, Zulvikar Syam Bani Ulhaq, yang menyatakan RA bisa dideteksi dengan enzim MMP3. Ini. Pemuda 21 tahun asal Jombang ini berhasil memastikan bahwa enzim tersebut mampu mendeteksi adanya gen RA dalam tubuh seseorang sehingga langkah antisipasi bisa segera dilakukan.
Enzim matrix metalloproteinase (MMP) adalah enzim yang membantu perkembangan embrio, perkembangan psikologi seseorang dan reproduksi, serta ditemukan pula pada RA. “Pada orang normal, MMP3-nya itu berada di batas yang wajar, tapi pada penderita RA enzim ini berlebihan dan merusak sendi,” jelas mahasiswa Kedokteran Universitas Brawijaya (Unibraw) Malang ini.
Ketika seseorang melakukan cek darah lengkap untuk suatu keperluan, misalnya mengecek hemoglobin, bisa turut pula mengecek RA. Sampel darah yang diambil bisa dicek dengan enzim MMP3. Jika hasilnya berwarna lebih tajam (merah pekat) berarti ia positif mengidap RA. Saat dokter mengetahui seseorang positif RA tentu akan diambil langkah-langkah pencegahan agar tidak terjadi peradangan sendi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar