Hidayatullah.com--Diriwayatkan oleh Imam al-Ghazali, suatu ketika kaum Bani Israil bertanya kepada Nabi Musa a.s : “Tanyakan kepada Tuhanmu kami memperoleh apa, bila mengerjakan sesuatu. Sebab kami telah amalkan apa yang Dia (Allah) inginkan”.
Nabi Musa a.s berkata: “Ya Tuhanku, Engkau benar-benar sudah mendengar apa yang mereka katakan padaku”. Allah SWT berfirman kepada nabi Musa a.s: “Hai Musa, katakanlah pada mereka, ‘Mereka harus ridla kepada-Ku. Aku pun akan ridla terhadap mereka” (Imam al-Ghazali,Mukasyafat al-Qulub).
Kisah tersebut memberi arti, bahwa setelah kita melakukan amal shalih, janganlah berharap-harap balasan berupa harta duniawi. Usai beramal, serahkanlah kepada-Nya. Hanya satu yang harus diharap; ridla-Nya, tidak lainnya. Cukup dengan ridla-Nya, amal kita pasti dibalas dengan setimpal kelak.
Menerima ridla-Nya itu berarti kita harus qana’ah. Menurut Abu Abdilllah bin Khafifi, qana’ah adalah meninggalkan angan-angan terhadap sesuatu yang tidak ada dan menganggap cukup dengan sesuatu yang ada.
Qana’ah adalah pintu menjadi hamba Allah yang cerdas, sedangkan tamak (rakus) dan pendengki adalah jendela pembuka kerusakan.
Imam Abu Bakar al-Maraghi bernah bertutur kepada murid-muridnya:”Orang yang berakal sehat adalah orang yang mengatur urusan dunia dengan sikap qana’ah dan mengatur urusuan agama dengan ilmu dan ijtihad” (Abdul Karim al-Qursyairi, Risalah al-Qusyairiyah).
Menurut Imam Turmuzi, qana’ah itu adalah jiwa yang rela terhadap pemberian rezeki yang telah ditentukan, dan tidak berkeinginan terhadap sesuatu yang tidak ada hasilnya. Pada dasarnya berangan-angan terhadap sesuatu yang tidak hasilnya adalah angan-angan orang yang bodoh.
Tentunya, orang yang berakal dan cerdas seperti itu adalah orang memahami siapa diri dan harus bagaimana diri ini. Orang yang qona’ah, adalah orang yang hidupnya terbebas dari segala macam belenggu nafsu dan ambisi. Hal ini adalah disebabkan karena mereka merasa yakin dan percaya sepenuhnya akan kebijakan adil Allah SWT.
Menurut Imam al-Ghazali, kemuliaan seorang hamba itu bermula dari qana’ah dan kehinaannya berawal dari sifat tamak. Makanya, qana’ah adalah karakter utama mukmin sejati. “Qana’ah itu ibarat raja yang tidak mau bertempat tinggal kecuali di hati mukmin” kata Imam al-Qusyairi. Sedangkan orang yang tamak selalu dikejar-kejar nafsu untuk menumpuk harta sebanyak-banyaknya, tanpa memperdulikan apakah harta tersebut diperoleh dengan cara yang halal ataukah haram.
Untuk menjadi orang yang qan’ah, maka kita perlu memperbanyak syukur, bersikap wara’ dan menghindari gaya hidup yang berlebihan.
Rasulullah SAW bersabda: “Jadilah orang yang wara’, maka engkau akan menjadi orang yang paling ahli beribadah. Jadilah orang yang qana’ah, maka engkau akan menjadi orang yang paling ahli bersyukur. Cintailah orang lain sebagaimana engkau mencintai diri sendiri, maka engkau akan menjadi mukmin yang baik. Berbuatlah baik kepada tetanggamu, maka engkau akan menjadi orang Islam yang baik. Sedikitkanlah tertawa, karena banyak tertawa akan mematikan hati.” (HR. Al-Baihaqi).
Seseorang yang apabila di dalam hatinya terdapat sifat wara', maka hidupnya akan tenang dan tentram tanpa terusik oleh nafsu untuk menguasai dunia (harta). Dalam usahanya untuk mencukupi kebutuhan hidupnya, ia akan selalu memperhatikan ketentuan-ketentuan Allah (pantang baginya mendapat barang atau harta yang meragukan hatinya, apalagi yang haram).
Hidari Tamak!
Orang tamak pada hakikatnya menurut al-Ghazali adalah orang fakir, mengutip pendapat Umar bin Khattab r.a ia mengakatan; "Sesungguhnya tamak adalah kefakiran, sementara membuang iri hati terhadap rizki orang lain justru adalah kekayaan."
Sifat tamak dan dengki biasa berjalan bersamaan. Keduanya sama-sama perusak kehidupan seorang mukmin. Diriwayatkan dari Abu Ayyub al-Anshari Rasulullah SAW pernah menasihatinya: “Jika engkau shalat, lakukanlah shalatmu itu seakan-akan terakhir kalinya (berpamitan untuk mati), janganlah berbicara dengan pembicaraan yang membuatmu kelak tak dapat memberikan alasannya dan jangan berharp terhadap sesuatu yang sudah dipegang orang lain.”
Nafsu manusia jika tidak dikontrol iman sangat mudah jatuh pada sifat ketamakan. Jika manusia memiliki satu lembah emas, tentu dia menginginkan yang keduanya. Dan apabila ia telah memiliki dua lembah emas, tentu ia menginginkan yang ketiga. Kata para ulama, tidak ada yang dapat memenuhi perut mereka kecuali mati. Selama manusia bernafas, ia selalu saja digoda setan dengan ketamakan dan dengki.
Janganlah dibiarkan kerakusan bercokol di dalam hati kita. Ada kecenderungan orang yang rakus itu menjadi jahat, merasa ringan berbuat maksiat bahkan rela mengorbankan kemuliaan, sekedar untuk memuaskan ambisi nafsunya.
Hati-hatilah dengan sifat rakus. Rakus itu merusakkan tatanan kehidupan. Hatinya selalu bergejolak bagaimana memenuhi keinginan nafsunya saja. Kerakusan harus kita lemahkan. Sifat ini biasanya mencengkeram jiwa di saat kita mulai memiliki sifat iri dengki. Dan kadang dimulai dari angan-angan/imajinasi kosong kita tentang harta. Kerakusan dapat kita lemahkan dengan belajar hidup sederhana, wara’ dan qana’ah.
Tamak dan rakus kepada dunia, dapat menyebabkan hati seseorang terombang-ambing dan selalu dikejar-kejar nafsu untuk menumpuk harta sebanyak-banyaknya. angkuh, cinta akan dunia, tidak amanah dan iri hati. Jadi tamak tidak saja merusak kadar iman, tapi juga membuka pintu kegagalan hidup. Wallahu a’lam bisshawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar