Selasa, 15 Maret 2011

Saat-saat Rasulullah Tertawa dan Menangis


“Ana Basyarum mistlukum” potongan ayat ini menggambarkan bahwa Nabi Muhammad seperti manusia pada umumnya. Memiliki perasaan dan kebutuhan yang sama, baik psikis maupun biologis. Hanya bedanya, Nabi mendapat wahyu (al-Qur’an), sedangkan manusia tidak.

Nabi Muhammad, Rasulullah dalam hidupnya juga pernah mengalami sedih, bahagia, tertawa, dan bahkan menangis. Sedih ketika ditinggal istri tercintanya, Khadijah. Tertawa ketika mendengar pertanyaan lucu istri sahabat Nabi, Rifa’ah. Itulah pernik kehidupan Rasulullah, sama seperti orang manusia lainnya.

Berikut beberapa kejadian yang membuat Rasulullah bisa tertawa dan menangis.

Suatu hari, Umar meminta izin untuk masuk ke ruangan Rasulullah. Kebetulan, waktu itu ada beberapa orang wanita Quraisy yang sedang berbicara dengan Rasulullah dengan nada yang cukup keras dan mengajukan banyak pertanyaan. Tahu Umar datang, mereka pun langsung lari ke balik tabir.

Lalu Rasulullah pun tertawa sambil menyuruh Umar masuk. Melihat Rasulullah tertawa, Umar berkata, ”Semoga Allah membuatmu tetap dalam keadaan senang dan gembira, wahai Rasulullah!” Rasulullah pun menjawab, “Aku merasa heran dengan ulah wanita-wanita yang berada di sampingku tadi. Begitu mendengar suaramu, mereka bergegas menuju balik tabir.

Umar berkata kepada wanita-wanta tersebut, “Apakah kalian segan kepadaku, sementara kalian tidak segan kepada Rasulullah?” Mereka menjawab, “Ya, lantaran kamu lebih keras dan lebih kasar daripada Rasulullah.”

Kemudian Rasulullah pun bersabda, “Demi Zat yang jiwaku ada dalam genggaman-Nya. Tidak akan pernah setan menemuimu di suatu jalan yang kamu lalui, kecuali pasti mencari jalan lain, selain jalan yang kamu lalui." (HR. Al-Bukhori dan Muslim).

Tidak sekali itu saja Rasulullah tertawa. Beliau juga pernah tertawa saat ada seorang sahabat yang salah paham dalam menerjemahkan waktu puasa. Tepatnya, tatkala turun ayat, ”...sehingga jelas bagimu (perbedaan) antara benang putih dan benang hitam, yaitu fajar." (Q.S.Al-Baqarah. ayat 187). 

Adi bin Hatim berkata kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah. Sungguh saya meletakkan benang berwarna putih dan benang berwarna hitam di bawah bantalku, sehingga aku dapat mengenali antara waktu malam dan waktu siang.”

Mendengar itu, Rasulullah bersabda, ”Sesungguhnya bantalmu itu sangat lebar. Sesungguhnya yang dimaksud adalah hitamnya (gelapnya) malam dan putihnya (terangnya) siang pada fajar”. (Shahih Muslim).

Dalam riwayat lain disebutkan, “Adi bin Hatim menceritakan hal itu kepada Rasulullah dan beliau pun tertawa mendengarnya.”

Dalam kejadian lain, ketika istri Rifa’ah mengadu kepada Rasulullah, beliau pun tertawa. Ceritanya, istri Rifa’ah telah dicerai (Talak bain) oleh Rifa’ah. Lantas ia menikah lagi dengan Abdurrahman bin Zubair, namun memiliki penyakit lemah syahwat.

Nah, kedatangannya kepada Rasulullah untuk mengadukan hal itu. Beliau pun hanya tersenyum sambil berkata, “Jadi, kamu ingin kembali kepada Rifa’ah? Itu tidak bisa, sebelum kamu mereguk madu Abdurrahman dan ia mereguk madumu.”

Selain tertawa, Rasulullah juga banyak menangis. Rasulullah pernah menangis saat mendengarkan bacaan al-Qur’an. Ketika itu, beliau menyuruh sahabatnya, Ibnu Mas’ud untuk membaca al-Qur’an dan Rasulullah mendengarkannya. Karena saking khusuknya mendengarkan bacaan Ibnu Mas’ud, tak terasa air mata Rasulullah mengalir bercucuran.

Rasulullah juga pernah menangis saat menjenguk Sa’ad bin ‘Ubadah sakit keras. Ketika itu, Rasulullan menjenguk dengan ditemani  Abdurrahman bin Auf, Saad bin Abi Waqqas, dan Abdullah bin Mas’ud.

Saat beliau masuk, Sa’ad sudah dikerubungi oleh keluarganya. Lalu, beliau berkata, “Apakah ia sudah meninggal?” Mereka menjawab, “Belum, wahai Rasulullah.” Rasulullah pun menangis. Dan, ketika itu, mereka pun ikut menangis.

Yang tak kalah membuat Rasullah sedih tatkala berziarah ke makam ibundanya. Ketika itu, Rasulullah menangis dan orang di sekitarnya ikut menangis. Setelah itu, beliau bersabda:

“Aku meminta izin kepada Rabbku untuk memintakan ampunan untuknya (Ibuku), tetapi aku tidak diizinkan. Kemudian aku meminta izin untuk menziarahi ke kuburnya dan Ia mengizinkannya. Maka berziarahlah ke kuburnya karena dapat mengingatkan pada kematian.” (Shahih Muslim).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar