Oleh: Fahmi Islam Jiwanto, MA
Al-Imam al-Bukhary meriwayatkan dalam Shahihnya dari Abdurrahman bin Samurah r.a. bahwa Rasulullah SAW bersabda:
«يَا عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ سَمُرَةَ لاَ تَسْأَلِ الإِمَارَةَ، فَإِنْ أُعْطِيتَهَا عَنْ مَسْأَلَةٍ وُكِلْتَ إِلَيْهَا، وَإِنْ أُعْطِيتَهَا عَنْ غَيْرِ مَسْأَلَةٍ أُعِنْتَ عَلَيْهَا»
“Wahai Abdurrahman jangan meminta kepemimpinan (jabatan). Jika engkau mendapatkannya dengan meminta, engkau akan disandarkan kepadanya, tetapi jika engkau mendapatkannya tanpa meminta engkau akan dibantu memikulnya.” (HR al-Bukhari)
Berdasarkan kepercayaan rakyatnya, pemimpin ada tiga macam: Yang pertama pemimpin yang sudah dipercaya sebelum memimpin, sehingga dia memimpin berkat kredibilitas yang sudah dimiliki tanpa direkayasa; yang kedua pemimpin yang mengusahakan kepercayaan agar dapat memimpin; yang ketiga pemimpin yang tidak peduli dengan kepercayaan rakyatnya.
Pemimpin Tirani
Jenis ketiga adalah pemimpin terburuk. Mungkin aneh bagaimana seseorang dapat memimpin tanpa mendapat kepercayaan? Pada kenyataannya sejarah banyak mencatat munculnya pemimpin model begini. Realitasnya bahkan ada bermacam bentuk untuk pemimpin tanpa modal kepercayaan:
Yang pertama adalah pemimpin bertangan besi, alih-alih meraih kepercayaan dan kepuasan rakyat mereka menjadikan rasa takut sebagai sandaran kekuasaan. Raja Nero dari Roma, Hitler, Mussolini, Stalin dan seterusnya adalah contoh-contoh pemimpin yang tidak peduli apakah rakyat percaya kepada mereka atau tidak. Ada yang lebih penting dari kepercayaan rakyat, yaitu doktrin besar yang mereka angkat, atau ambisi besar yang mereka inginkan.
Yang kedua adalah pemimpin yang selain bertangan besi, juga bersandar pada doktrin agama yang mengagungkan penguasa. Dalam al-Qur’an Fir’aun dan Namrudz adalah dua contoh yang paling sering disebut. Sejarah mencatat penguasa-penguasa tirani jenis ini banyak bermunculan terutama sebelum masa Nabi Muhammad SAW. Mereka bahkan sering meminta perlakuan seperti Tuhan, ditaati secara mutlak, diyakini kekuataannya yang luar biasa, diagungkan dengan berbagai cara, dan kekuasaan yang abadi sampai mati. Dalam beberapa dinasti peradaban Mesir kuno diyakini oleh rakyatnya bahwa raja-raja Mesir adalah dewa-dewa.
Yang ketiga adalah pemimpin yang dipilih hanya berdasarkan doktrin. Pemimpin jenis ini muncul dalam sistem teokrasi di mana penguasa dianggap wakil Tuhan. Seperti penguasa-penguasa Romawi Barat pada Masa Kegelapan Eropa, yang merupakan pendeta-pendeta Gereja Katholik. Sampai sekarang Gereja Katholik masih meyakini kesakralan otoritas politik gereja, sehingga loyalitas penganut Katholik selalu mendua antara loyalitas kepada negaranya dan loyalitas kepada Vatikan.
Allah berfirman tentang mereka:
اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ
“Mereka (Ahlul Kitab) menjadikan rabb-rabbii dan pendeta-pendeta mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah” (QS at-Taubah: 32)
Diriwayatkan oleh at-Tirmidzy dan ath-Thabrany dari Adiy bin Hatim r.a, beliau adalah seorang sahabat Nabi yang sebelumnya beragama Nasrani. Beliau berkata, “Aku datang kepada Nabi Muhammad SAW, sedang di leherku ada salib dari emas.”
Nabi SAW bersabda, “Wahai Adiy buang berhala itu dari lehermu.”
Lalu kubuang salib itu. Sampai aku mendatangi beliau, pada saay beliau membaca surat Bara’ah (at-Taubah), sampai pada ayat: ““Mereka (Ahlul Kitab) menjadikan rabb-rabbii dan pendeta-pendeta mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah”[1] Sampai beliau selesai.
Aku berkata,“Kami tidak menyembah mereka.”
Beliau berkata. “Bukankah mereka mengharamkan yang Allah halalkan, dan menghalalkan yang Allah haramkan, lalu kalian mengikutinya?”
Aku berkata, “Benar.”
Beliau bersabda “Itulah bentuk penyembahan mereka.”
Mirip dengan teokrasi Katholik Roma, sistem politik Iran juga menjadikan doktrin agama sebagai sandaran kekuasaan. Pada awalnya ajaran Syi’ah Itsna Asyariyyah tidak mengakui seorang pemimpin pun selain 12 imam keturunan Husein bin Ali bin Abi Thalib, tetapi setelah berabad-abad imam ke-12 tidak kunjung muncul, Khomeini memunculkan doktrin baru bernama Wilayatul Faqih. Khomeini mengatakan bahwa kepemimpinan imam bisa digantikan oleh kepemimpinan seorang faqih yang dipilih oleh ulama-ulama Syi’ah yang memiliki kapasitas tertentu yang dinamakan sebagai para “ayatullah.” Di Iran tak seorang pun boleh berpendapat beda dengan “Wali Faqih” yang menjadi pemimpin tertinggi negara itu. Siapapun yang berani menentang Wali Faqih minimal berhadapan dengan penjara, atau lebih buruk dari itu. Pada saat ini peran Wali Faqih tersebut dipegang oleh “Ayatullah” Ali Khamanei.
Dalam masalah loyalitas, para penganut madzhab Syi’ah Itsna Asyariyyah lebih tegas dari pada penganut Katholik, karena Vatikan biasanya tidak memiliki kebijakan politik praktis. Sedangkan penganut Syi’ah Ja’fariyyah atau Itsna Asyariyyah yang umumnya mengimani doktrin wilayatul faqih mereka selalu berpihak pada kepentingan dan sikap-sikap politik Iran. Sehingga mereka yang bukan warga negara Iran selalu menghadapi masalah dengan kepentingan politik lokal jika berseberangan dengan kepentingan politik Iran.
Dalam keyakinan Ahlus Sunnah masalah kepemimpinan bukanlah masalah aqidah yang ditentukan dengan wahyu. Masalah kepemimpinan adalah pilihan manusia berkaitan dengan kapasitas dan kredilibilitas seseorang. Nabi Muhammad SAW tidak menentukan secara definitif siapa pemimpin umat Islam setelahnya. Kaidah dan pedoman dalam masalah ini adalah firman Allah tentang sifat orang-orang beriman:
وَأَمْرُهُمْ شُورَى بَيْنَهُمْ
“… dan urusan mereka dimusyawarahkan di antara mereka..” (QS Syura : 38)
Islam hanya mengenal satu sumber Kebenaran Mutlak yaitu Allah SWT. Dan Allah hanya menjamin enam Kebenaran Mutlak dalam enam Rukun Iman. Tidak ada yang harus diimani secara mutlak di luar enam pondasi tersebut. Tidak ada yang berhak ditaati secara mutlak selain Sang Pencipta.
Diriwayatkan dalam as-Shahihain, bahwa Nabi Muhammad SAW mengutus sebuah pasukan dan memilih salah seorang dari mereka menjadi amir (pimpinan) mereka. Di dalam perjalanan terjadi perselisihan antara mereka. Lalu sang amir memerintahkan anak buahnya untuk mengumpulkan kayu bakar, lalu menyalakannya. Sang amir memerintahkan semua anah buahnya untuk terjun ke dalam api yang mereka nyalakan. Seraya berkata, “Bukankah Nabi telah memerintahkan kalian untuk taat kepadaku?”
Mereka menjawab, “Iya.”
Sang Amir berkata,“Aku perintahkan kalian untuk masuk ke dalamnya!”
Sontak seluruh pasukan bingung. Sebagian mereka berkata, “Sesungguhnya kita mengikuti Nabi agar selamat dari api (neraka), bagaimana mungkin kita sekarang harus masuk ke dalamnya?!”
Mereke terus berbeda pendapat, sampai api tersebut padam. Ketika mereka kembali kepada Rasulullah SAW dan mengadukan masalah mereka kepada beliau. Nabi SAW bersabda, “Jika mereka memasuki api tersebut, mereka tidak akan keluar dari situ.” Lalu Nabi Muhammad SAW mengajarkan prinsip ketaatan yang benar dengan sabdanya:
إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوفِ
“Ketaatan hanyalah wajib dalam hal kebaikan.” (HR al-Bukhari dan Muslim)
Pemimpin Kredibel
Itu semua tentang pemimpin yang tidak peduli tentang pentingnya kredibilitas dan rasa saling percaya antara pemimpin dan yang dipimpin. Sedangkan pemimpin yang ideal adalah pemimpin yang kredibel dan terpercaya sebalum dia menjadi pemimpin. Di hadits Abdurrahman bin Samurah yang disebutkan diatas, Nabi Muhammad SAW mengajarkan agar seorang muslim seyogyanya tidak meminta jabatan pemimpin.
Seseorang yang menginginkan jabatan kepemimpinan sebelum diberi amanah tersebut biasanya belum terlihat kapasitasnya, atau belum dirasakan urgensi pengangkatannya sebagai pemimpin. Karena manusia pada kondisi normal mesti mencari dan membutuhkan pemimpin yang layak. Siapa pun yang memiliki kemampuan dan kapasitas memimpin jika tampak dan muncul di tengah lingkungan yang memerlukan pemimpin secara otomatis akan dijadikan pemimpin.
Menemukan sosok pemimpin yang kredibel merupakan “fardlu kifayah” dan kewajiban kolektif yang mesti dilakukan komunitas manusia di mana pun dan kapan pun. Kesalahan dalam memilih pemimpin selalu berakibat fatal dan berbuntut panjang.
Pada kondisi normal masyarakat memilih orang yang paling kapabel dan kredibel untuk menjadi pemimpinnya. Tetapi sayangnya kondisi tersebut tidak selalu terjadi. Sering terjadi masyarakat tertipu dengan rekayasa orang-orang yang menginginkan kekuasaan untuk kepentingan tertentu.
Pemimpin Populer
Pada saat kredibilitas tidak muncul secara alami, maka orang cenderung melihat popularitas seseorang. Tentu saja resiko kesalahan dalam memilih pemimpin dengan kriteria ini sangat besar. Karena yang populer belum tentu baik dan layak. Sejak Machiavelli mengarang kitab Il Principe (Sang Pangeran), dunia politik praktis semakin diwarnai orang-orang licik dan culas. Kejujuran dan moral menjadi barang sulit dan langka di dunia politik.
Tetapi hal itu bukan berarti kelicikan dan kepura-puraan menjadi kartu As dalam kancah politik praktis. Ketika masyarakat semakin berpendidikan dan berwawasan baik, semakin sulit rekayasa politik hipokrit dapat diterima.
Politik rekayasa dan manipulasi menjadi ampuh dalam dua model masyarakat; masyarakat polos dan lugu, atau masyarakat licik dan penuh kecurangan. Pada masyakat pertama, orang yang berpura-pura jujur dan baik dapat dengan mudah diterima. Pada jenis kedua senjata yang dipakai adalah permainan interes (kepentingan) dan serangan. Sedangkan masyarakat yang cerdas tetapi menjunjung tinggi moral, rekayasa dan manipulasi tidak ampuh untuk meraih kepercayaan mereka.
Adalah kewajiban umat Islam dan bangsa Indonesia untuk semakin menyehatkan dan mencerdaskan kehidupan politik jika tidak ingin bangsa ini luluh karena gagal memilih pemimpin yang sholeh yang dapat membawa mereka menuju masa depan yang lebih baik. HadanaLlahu wa iyyakum ajma’in.
Sumber : ikadi.or.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar