Kamis, 05 April 2012

KARYA TULIS : Hermeneutik dalam Ilmu-ilmu Alam


Oleh : Joko Sutrisno, S.Si., M.Pd.
ABSTRAK
Hermeneutik yang dalam istilah sehari-hari diartikan sebagai interpretasi atau penafsiran, pada awalnya merupakan metode penelitian dalam human sciences. Penerapan hermeneutik dalam human sciences ini diawali oleh F. Schleiermacher dan W. Dilthey, yang kemudian dikembangkan lagi oleh beberapa pemikir sesudahnya seperti Heidegger dan Gadamer. Dalam makalah ini akan ditunjukkan bahwa di dalam sejarah perkembangannya, ilmu-ilmu alam atau natural science - yang berkaitan erat dengan scientific method, objectivity, dan rationality - juga melibatkan unsur-unsur hermeneutik. Beberapa teori dalam ilmu-ilmu alam, misalnya dalam fisika kuantum dan kosmologi, sebenarnya perupakan hasil interpretasi-interpretasi para ilmuwan yang dalam sejarahnya dapat digantikan oleh interpretasi-interpretasi baru atau yang oleh Kuhn disebut sebagai pergeseran paradigma dalam ilmu pengetahuan. Dalam makalah ini akan diuraikan perkembangan pengertian hermeneutik, dilanjutkan dengan diskusi keberadaan hermeneutik dalam ilmu-ilmu alam, termasuk pergeseran paradigma Kuhn, dan diakhiri dengan uraian ringkas beberapa penemuan atau teori dalam ilmu alam yang relevan.


Pendahuluan
Apakah yang dimaksud dengan hermeneutik? Mengapa hermeneutik ditawarkan sebagai salah satu metode penelitian dalam ilmu-ilmu kemanusiaan atau ilmu sosial?  Apakah hermeneutik juga berlaku dalam ilmu-ilmu alam? Pertanyaan-pertanyaan seperti itulah yang akan dicoba dijawab dalam makalah ini, dengan penekanan pada pertanyaan terakhir, yang sebenarnya secara tidak langsung juga menunjukkan bahwa metode penelitian ilmiah atau scientific method memiliki keterbatasan-keterbatasan sehingga dalam situasi dan kondisi tertentu para ilmuwan terpaksa menggunakan interpretasi untuk menjelaskan fenomena alam tertentu.

Secara umum, ilmu pengetahuan dibedakan menjadi dua kelompok besar, yaitu ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial. Dalam masa Aufklarung atau Zaman Pencerahan beberapa tokoh filsafat seperti Auguste Comte, Ernst Mach, dan para filsuf dalam Vienna Circle, berpendapat bahwa tidak perlu ada perbedaan metode penelitian atau pendekatan dalam kedua kelompok ilmu pengetahuan tersebut. Kesuksesan pendekatan (metode) ilmiah dalam ilmu-ilmu alam yang berhasil menjelaskan gejala-gejala alam sampai menjadi teknologi, diyakini akan dapat diperoleh juga jika diterapkan dalam ilmu-ilmu sosial. Pandangan atau aliran semacam ini disebut aliran positivisme. Dalam perkembangannya, usaha penerapan metode ilmiah ilmu-ilmu alam dalam ilmu-ilmu sosial menimbulkan masalah, bukan saja dari segi keilmuan, tetapi juga segi kemanusiaan. Masalah inilah yang akhirnya memunculkan metode-metode alternatif dalam ilmu-ilmu sosial, yang salah satunya adalah hermeneutik atau penafsiran atau interpretasi.[1]

Ilmu alam berkembang sangat cepat. Dalam fisika misalnya, teori atau gagasan 50 tahun yang lalu jauh berbeda dengan teori atau gagasan 100 tahun yang lalu. Gagasan mekanika Newton berbeda dengan gagasan mekanika Kuantum. Thomas Kuhn dalam bukunya The Structure of Scientific Revolutions, yang terbit tahun 1963, menyebutkan bahwa dalam ilmu alam terjadi revolusi, yaitu perubahan dari paradigma lama ke paradigma baru yang begitu signifikan dalam waktu yang singkat, misalnya paham geosentris digantikan oleh paham heliosentris.[*] Perubahan-perubahan yang cepat dalam ilmu-ilmu alam ini menimbulkan pertanyaan pertanyaan. Apakah teori atau pemahaman baru diartikan lebih objektif daripada teori atau pemahaman lama? Benarkah objektivitas masih merupakan salah satu ciri dalam ilmu alam?.[2] Dalam makalah ini, dengan bantuan beberapa contoh nyata perkembangan dalam ilmu-ilmu alam, ditunjukkan bahwa metode pendekatan hermeneutik yang sebenarnya pada awal mulanya bahkan ditujukan untuk melawan paham positivisme, juga terdapat dalam ilmu-ilmu alam.

Perkembangan Pengertian Hermeneutik
Istilah hermeneutik mencakup dua hal, yaitu seni dan teori tentang pemahaman dan penafsiran terhadap simbol-simbol baik yang kebahasaan maupun yang non-kebahasaan. Pada awalnya hermeneutik digunakan untuk menafsirkan karya-karya sastra lama dan kitab suci, akan tetapi dengan kemunculan aliran romantisme dan idealisme di Jerman, status hermeneutik berubah. Hermeneutik tidak lagi dipandang hanya sebagai sebuah alat bantu untuk bidang pengetahuan lain, tetapi menjadi lebih bersifat filosofis yang memungkinkan adanya komunikasi simbolik. Pergeseran status ini diawali oleh pandangan Friedrich Schleiermacher dan Wilhelm Dilthey. Sekarang, hermeneutik tidak lagi hanya berkisar tentang komunikasi simbolik, tetapi bahkan memiliki area kerja yang lebih mendasar, yaitu kehidupan manusia dan keberadaannya.

Menurut Friedrich Schleiermacher, terdapat dua tugas hermeneutik yang pada hakikatnya identik satu sama lain, yaituinterpretasi gramatikal dan interpretasi psikologis. Aspek gramatikal interpretasi merupakan syarat berpikir setiap orang, sedangkan aspek psikologis interpretasi memungkinkan seseorang memahami pribadi penulis. Oleh karenanya, untuk memahami pernyataan-pernyataan dari pembicara, seseorang harus mampu memahami bahasanya sebaik ia memahami kejiwaannya. Semakin lengkap pemahamam seseorang atas sesuatu bahasa dan latar belakang psikologi pengarang, maka akan semakin lengkap pula interpretasinya terhadap karya pengarang tersebut. Kompetensi linguistik dan kemampuan memahami dari seseorang akan menentukan keberhasilannya dalam bidang seni interpretasi. Namun, pengetahuan yang lengkap tentang kedua hal tersebut kiranya tidak mungkin, sebab tidak ada hukum-hukum yang dapat mengatur bagaimana memenuhi kedua persyaratan tersebut.[3]

Schleiermacher menawarkan sebuah rumusan positif dalam bidang seni interpretasi, yaitu rekonstruksi historis, objektif dan subjektif terhadap pernyataan. Melalui rekonstruksi objektif-historis, ia bermaksud membahas sebuah pernyataan dalam hubungannya dengan bahasa sebagai keseluruhan. Melalui rekonstruksi subjektif-historis, ia bermaksud membahas awal mula sebuah pernyataan masuk ke dalam pikiran seseorang. Schleiermacher sendiri menyatakan bahwa tugas hermeneutik adalah memahami teks sebaik atau lebih baik daripada pengarangnya sendiri dan memahami pengarang teks lebih baik daripada memahami diri sendiri. Jika diterapkan dalam bidang sains, sebagai contoh, untuk memahami teori relativitas Einstein, maka sebaiknya kita juga berusaha mengetahui faktor-faktor yang melatarbelakangi pemikiran Einstein tersebut.

Schleiermacher menegaskan adanya masalah hermeneutical circle atau lingkaran hermeneutik, yaitu bahwa untuk memahami sebagian dari teks pembaca memerlukan pemahaman atas konteks keseluruhan teks, dan untuk memahami keseluruhan teks pembaca memerlukan interpretasi atas bagian-bagian dari teks tersebut. Dengan demikian, untuk dapat memahami suatu teks pembaca memerlukan pemahaman akan sumber-sumber lain untuk membantu pemahamannya, termasuk pemahaman akan kehidupan dan minat penulis. Hal ini juga memerlukan pemahaman akan konteks budaya di mana karya penulis tersebut muncul.[4]

Wilhelm Dilthey (1833-1911) membedakan ilmu pengetahuan ke dalam Naturwissenschaften atau ilmu pengetahuan tentang alam dan Geisteswissenschaften atau ilmu pengetahuan tentang batin manusia.  Perbedaan ini sangat penting karena pada kenyataannya kedua jenis ilmu pengetahuan tersebut mempergunakan metodologi atau pendekatan yang berbeda. Naturwissenschaften atau ilmu pengetahuan tentang alam menggunakan metode ilmiah yang hasil penemuannya dapat dibuktikan dengan menggunakan metode yang sangat ketat, sedangkanGeisteswissenschaften atau ilmu pengetahuan tentang batin manusia atau tentang hidup tidak dapat diterapi dengan metode ilmiah seperti halnya pada Naturwissenschaften karena ilmu-ilmu Geisteswissenschaften berhubungan dengan hidup manusia.

Dilthey menyatakan bahwa metode atau pendekatan hermeneutik merupakan dasar dari Geisteswissenschaften. Ia tertarik pada metode hermeneutik ketika ia mencoba memecahkan persoalan tentang bagaimana membuat segala pengetahuan tentang individu manusia menjadi ilmiah. Persoalan pokok Dilthey adalah bagaimana menemukan metode lain untuk Geisteswissenschaften jika metode ilmiah tidak dapat digunakan. Dari sinilah ia mulai melirik hermeneutik sebagai metode untuk pembahasan Geisteswissenschaften.

Bagi seorang ilmuwan bidang sains, yang dapat menjadi objek penelitian objektif dan ilmiahnya adalah benda-benda yang berada dalam dunia fisik, sedangkan hal-hal atau peristiwa-peristiwa yang bertalian dengan individu hanya dapat dipahami dan diinterpretasikan. Menurut Dilthey, terhadap benda-benda di alam kita hanya mampu "mengetahui", sedangkan terhadap manusia kita mengunakan "pemahaman" dan "interpretasi" untuk "mengetahui" manusia.[5]

Tujuan akhir dari pendekatan hermeneutik adalah kemampuan memahami penulis atau pengarang melebihi pemahamanm terhadap diri kita sendiri.  Seorang sejarawan yang menuliskan segala peristiwa sejarah, tidak jauh dari zaman di mana ia hidup, tidak akan mempunyai pandangan yang lebih jernih jika dibandingkan dengan sejarawan yang hidup sekian abad sesudahnya. Namun pandangan semacam ini dapat juga dianggap keliru. Sejauh prasangka dan keikutsertaan penulis yang bersifat subjektif dijauhkan, maka ia dapat melihat segala peristiwa dalam kebenarannya yang objektif atau sebagaimana mestinya terjadi. Dalam pendekatan hermeneutik, seseorang menempatkan dirinya dalam konteks ruang dan waktu, maka visinya juga mengalami berbagai macam perubahan. Ia menggunakan apa saja yang mungkin untuk ditafsirkan. Ini berbeda dengan metode ilmiah yang lebih mementingkan fenomena.[6]

Pada tahun 1927, dalam karyanya Sein und Zeit (Being and Time), Martin Heidegger memberikan pengertian baru tentang hermeneutik. Menurut Heidegger, hermeneutik bukanlah mengenai pemahaman komunikasi linguistik, juga bukan merupakan basis dari metodologi bagi ilmu-ilmu tentang kehidupan manusia atau geisteswissenschaften, tetapi hermeneutik lebih merupakan ontologi.[†] Heidegger berpendapat bahwa tugas dari filsafat adalah untuk menunjukkan bagaimana subjek dapat secara rasional memberikan aturan-aturan epistemologi di mana sebuah representasi dikatakan sebagai benar atau salah. Dari suatu posisi tertentu, jalan ke konsepsi tentang kebenaran tidaklah jauh dikaitkan dengan metode yang disediakan oleh metode ilmu-ilmu alam. Model yang seperti ini cenderung melupakan aspek yang paling mendasar, aspek pre-scientific keberadaan manusia di dunia. Inilah yang menjadi ruang lingkup kerja hermeneutik menurut Heidegger. Hermeneutik, atau yang oleh Heidegger disebut hermeneutics of facticity, adalah apa yang oleh filsafat dijadikan hal yang paling utama.

Dalam bukunya yang berjudul Truth and Method (1960), Hans-Georg Gadamer, yang merupakan murid dari Martin Heidegger, membahas mengenai masalah hermeneutik yang dikemukakan oleh Schleiermacher dan Dilthey dengan menggunakan metode yang disajikan oleh Heidegger dalam bukunya Being and Time. Menurut Gadamer, human sciences selalu berusaha mendekati teks dari suatu posisi yang dijaga berjarak dari teks itu sendiri, yang disebutalienation, yang menghapuskan ikatan-ikatan yang sebelumnya telah dimiliki oleh interpreter dengan objek yang sedang diinterpretasikan. Menurut Gadamer, jarak tersebut dapat diatasi dan ikatan-ikatan tersebut dapat dibangun kembali (re-fusion) melalui mediasi kesadaran akan efek historis (consciousness of the effects of history).

Ide dasar yang disampaikan oleh Gadamer adalah bahwa pendekatan kita terhadap sebuah fenomena historis (karya seni, karya sastra, teks, dan lain-lain) telah ditentukan lebih dulu oleh pemahaman awal (pre-understandings) dari interpreter-interpreter sebelumnya. Jadi, dengan melepaskan ikatan-ikatan kita sendiri terhadap objek, dan menggantinya dengan hasil interpretasi dari para interpreter sebelumnya, maka kita telas, tradisi, dan budaya seringkali tidak diperhitungkan dalam analisis teori-teori dan penjelasannya.[7]  Para ilmuwan cenderung menggunakan pendekatan formal dalam bidang ilmunya, meyakini bahwa ilmu alam adalah metodologi yang singular, yang akan membawa kita pada hasil yang objektif dan realistik terhadap pengamatan suatu fenomena. Pandangan ini merupakan pandangan para penganut positivisme, yang diperkuat oleh penemuan-penemuan dalam ilmu alam yang berhasil menyingkap banyak fenomena-fenomena alam.

Namun demikian dalam perkembangannya, muncul beberapa pandangan filosofis mengenai ilmu alam yang sedikit berubah dan rumit. Sejumlah pertanyaan filosofis yang cukup penting berkisar pada isu tentang perubahan keilmiahan (scientific change). Adakah suatu pola yang jelas terhadap cara gagasan-gagasan ilmiah berubah dari waktu ke waktu? Kapankah ilmuwan memutuskan meninggalkan teori lama ketika muncul teori yang baru? Apakah teori-teori yang baru secara objektif lebih baik dibandingkan teori-teori yang lama? Atau apakah konsep objektivitas masih tetap relevan? Sebagai contoh, apakah dengan adanya mekanika kuantum, maka lalu mekanika Newton kemudian ditinggalkan?

Diskusi paling modern yang mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah yang diberikan oleh Thomas Kuhn dalam bukunya The Structure of Scientific Revolutions pada tahun 1963.  Kuhn berargumentasi bahwa ilmu alam bukanlah suatu metodologi yang singular, tetapi beragam disiplin yang kompleks yang tidak dapat dilepaskan dari konteks historis dan konteks sosial. Menurut Kuhn, kurangnya perhatian para ilmuwan terhadap sejarah ilmu alam menyebabkan mereka - para penganut positivisme - membentuk perspektif kegiatan ilmiah yang tidak akurat dan naif.[8]

Seperti judul buku yang ditulisnya, Kuhn sangat tertarik dengan apa yang ia sebut sebagai revolusi ilmiah atau revolusi ilmu pengetahuan (scientific revolutions) - yaitu suatu periode ketika suatu teori lama digantikan oleh suatu teori baru yang cukup berbeda atau revolusioner. Contoh revolusi ilmu pengetahuan adalah kemunculan teori Copernicus tentang tata surya yang menggantikan teori Ptolomeus, mekanika Newton yang menggantikan mekanika Kartesian, dan teori relativitas Einstein serta teori kuantum yang menggantikan mekanika Newton untuk "dunia yang sangat besar' dan "dunia yang sangat kecil".

Perubahan-perubahan dalam ilmu pengetahuan ini tidak lain adalah perubahan-perubahan interpretasi para ilmuwan terhadap fenomena alam yang dihadapinya. Sebelum sebuah interpretasi baru diterima sebagai pengganti interpretasi lama, maka interpretasi baru tersebut akan diuji dengan sangat kritis. Sebagian besar pengujian bukan difokuskan pada bagaimana latar belakang dan metode dari interpretasi baru tersebut, melainkan pada apakah interpretasi baru ini bisa menjelaskan fenomena alam dengan lebih memuaskan atau tidak (memiliki ruang lingkup yang lebih luas). Sebagai gambaran yang sudah sangat populer, ketika Newton menyaksikan buah apel jatuh dari pohonnya, Newton memberikan hipotesis bahwa ada gaya gravitasi yang bekerja antara dua buah benda. Para ilmuwan tidak mempedulikan cara Newton yang hanya dengan melihat buah apel jatuh saja bisa sampai pada hipotesis itu. Contoh lainnya, ilmuwan Belgia bernama Kekule, pada tahun 1865 menyatakan bahwa molekul benzena memiliki struktur heksagonal setelah ia bermimpi tentang ular yang sedang menggigit ekornya sendiri. Yang kemudian diuji oleh para ilmuwan lain adalah kebenaran struktur heksagonal tersebut, bukan kebenaran dari mimpi Kekule itu sendiri.

Revolusi ilmu pengetahuan relatif tidak sering terjadi. Sebagian besar sejarah ilmu pengetahuan diisi oleh apa yang oleh Kuhn disebut sebagai "normal science", yaitu kegiatan para ilmuwan hari demi hari. Dalam keseharian para ilmuwan, mereka memiliki apa yang oleh Kuhn disebut paradigma, yaitu sekumpulan asumsi teoretis yang fundamental yang diterima atau disepakati oleh kalangan ilmuwan pada saat itu. Paradigma juga dapat diartikan sebagai jawaban-jawaban yang diberikan oleh para ilmuwan akan berbagai pertanyaan ilmiah, yang didasarkan pada asumsi-asumsi.

Paradigma menjadi semacam arah bagi para ilmuwan dalam normal science untuk mencari paradigma baru yang lebih cocok dengan fenomena yang menjadi objeknya. Aktivitas ilmuwan dalam normal science membawa mereka pada penemuan tentang ketidaksesuaian dan anomali suatu paradigma, sehingga paradigma tersebut perlu diperbaiki. Meskipun kesesuaian antara paradigma dengan objek fenomena alam tidak pernah sempurna - selalu terdapat hal yang tidak dapat dijelaskan oleh paradigma tersebut - tetapi para ilmuwan tidak menolak atau meninggalkan paradigma yang berlaku tersebut. Mereka menyebut ketidakcocokan tersebut sebagai rintangan (obstacle) yang dapat diatasi tanpa harus meninggalkan paradigma yang ada. Pada suatu saat akan terjadi krisis di mana sebuah paradigma baru yang benar-benar berbeda yang dapat menjelaskan ketidaksesuaian dan anomali paradigma lama yang diajukan untuk melawan paradigma lama. Dalam krisis ini - yang oleh Kuhn diibaratkan dengan krisis politik - tidak ada bukti-bukti logis yang dapat menyelesaikan peperangan antarparadigma tersebut. Dengan kata lain, pendapat Kuhn tersebut menyebabkan science menjadi irasional, subjektif, dan relatif. [9]

Berdasarkan uraian di atas mungkin akan muncul pertanyaan: bagaimana dengan perbedaan antaraNaturwissenscaften atau ilmu-ilmu alam dan Geistesswissenscaften atau ilmu-ilmu sosial yang telah dengan sangat tegas dibedakan oleh Dilthey? Peter Winch dalam bukunya The Idea of Social Science and Its Relation to Philosophy(1958) berpendapat bahwa pemisahan tersebut dapat dipahami sebagai suatu dikotomi linguistik di antara keduanya. Kuhn sendiri, dalam pengantar kumpulan artikelnya Essential Tension (1970) menyatakan: What I as a physicist had to discover for myself, most historians learn by example in the course of professional training. Consciously or not, they are all practitioners of the hermeneutic method. In my case, however, the discovery of hermeneutics did more than make history seem consequntial. Its most immediate and decisive effect was instead on my view of science.[10]

Kuhn menyatakan dalam kumpulan artikel Essential Tension (1970) bahwa pengamatan-pengamatan selaludiinterpretasikan dalam konteks pengetahuan sebelumnya yang telah dimiliki. Beberapa contoh dalam sejarah ilmu pengetahuan alam menunjukkan bahwa apa yang dilihat oleh seorang pengamat tergantung pada objek yang dilihatnya dan juga pada pengalaman visual-konseptual yang telah diajarkan padanya.[11]

Pada tahun 1925 Heisenberg menulis sebuah artikel berbahasa Jerman yang menyampaikan gagasan mekanika kuantum sebagai re-interpretasi kuantum teoretis akan hubungan kinematika dan mekanika. Menurut Heisenberg, mekanika kuantum bukanlah penyelesaian baru dalam mekanika lama, tetapi mekanika baru yang sensitif terhadapintrinsic dependence objek-objek kuantum yang diukur, sesuai dengan fisika klasik daripada fisika kuantum yang baru. Re-interpretasi yang dilakukan Heisenberg ini mencontoh pada apa yang dilakukan Einstein ketika menyelesaikan masalah kontraksi panjang dan dilatasi waktu dengan melakukan re-interpretasi karakter ruang dan waktu. Apa yang dilakukan Heisenberg dan Einstein ini menunjukkan bahwa interpretasi - hermeneutik - juga terdapat dalam fisika, dan tentu saja juga dalam ilmu-ilmu eksperimental lainnya, yang memberikan kontribusi pada perspektif filosofi baru tentang fisika yang boleh jadi telah dibayangkan oleh Einstein dan Heinsenberg.[12]

Metode hermeneutik yang sebenarnya menjadi salah satu metode dalam ilmu-ilmu sosial berlawanan dengan metodeexplanatory yang biasanya digunakan dalam ilmu-ilmu alam. Metode explanatory mengarah pada konstruksi model-model matematis dari variabel-variabel yang terukur maupun teoretis. Model-model ini dapat ditolak atau pun diterima didasarkan pada hasil-hasil percobaan yang dilakukan. Namun demikian tidak dapat dikatakan bahwa ilmu-ilmu sosial (atau ilmu tentang manusia) secara eksklusif bersifat interpretatif, juga tidak dapat dikatakan bahwa ilmu-ilmu alam secara eksklusif bersifat explanotary. Penggunaan metode hermeneutis dalam ilmu-ilmu alam seringkali tidak disadari oleh para ilmuwan sendiri, yang boleh jadi ini disebabkan karena begitu kuatnya keinginan ilmuwan untuk bersikap objektif dan rasional. Ilmuwan pada umumnya akan merasa malu dan bersalah jika menyampaikan suatu gagasan tanpa ada bukti-bukti empiris atau pun bukti-bukti logis. Penggunaan metode hermeneutis secara sengaja, dalam sejarahnya, hanya secara berani dilakukan oleh tokoh-tokoh ilmuwan tertentu yang memiliki karisma cukup besar di bidangnya, misalnya, Einstein yang menyampaikan interpretasi tentang cahaya yang bisa melengkung (yang pada akhirnya terbukti benar).

Usaha keras untuk mencari arti (meaning) dan pemahaman (understanding) dapat dilakukan dengan berbagai cara; metode ilmiah dalam ilmu alam bukan satu-satunya cara. Ilmu alam juga tidak dapat diklaim dapat memberikan jawaban akhir, melainkan hanya berupa pendekatan pemahaman yang lebih baik akan objek-objek alam semesta sebagai fungsi dari waktu dan usaha yang telah dilakukan.[13] Pendekatan pemahaman lama baik atau cocok untuk waktu dahulu, sedang pendekatan yang baru baik untuk waktu yang sekarang.

Kembali mengacu kepada pergeseran paradigma dalam ilmu alam sebagaimana yang disebutkan oleh Kuhn, maka dapat dikatakan bahwa terjadi diskontinuitas makna dalam ilmu alam, yaitu dari makna lama dalam paradigma lama ke magna baru dalam paradigma baru. Dalam hermeneutik, makna baru yang benar-benar berbeda tidak harus menggantikan makna lama, sebab, meskipun berbeda, mungkin keduanya valid dalam konteks historis dan budaya. Tentu saja, meskipun model formal keduanya benar-benar tidak dapat didamaikan, kita sering mendapatkan dalam ilmu alam bahwa pemahaman lama berdampingan dengan pemahaman yang baru, misalnya mekanika Newton dengan mekanika kuantum, termodinamika statistik dengan termodinamika fenomenologis.

Beberapa contoh berikut akan mencukupi untuk menunjukkan bagaimana ilmu alam menyertakan interpretasi atau hermeneutik di dalamnya. Dalam astronomi dan kosmologi, peranan hermeneutik sangat signifikan, dikarenakan dibandingkan dengan ilmu-ilmu lain dalam ilmu alam, objek-objek yang dipelajari oleh astronomi tidak dapat diakses melalui eksperimen langsung dan terkontrol, dan juga sulit dimanipulasi.  Dalam kosmologi kontemporer, masalah kerumitan kuantum dan berbagai parameter kosmologi seringkali menimbulkan berbagai spekulasi yang non-empiris, misalnya gagasan tentang string-theory, yaitu teori yang ingin menggabungkan mekanika kuantum dengan teori relativitas, walaupun teorinya sendiri sebenarnya sampai saat ini belum dapat disusun. Teori ini diharapkan dapat menjelaskan peristiwa apa yang terjadi sesaat setelah Big Bang (Dentuman Besar).

Hal lain yang cukup menarik adalah teori multiverse, yang memberikan kemungkinan adanya jagat raya lain di luar jagat yang kita tempati ini. Sir Martin Rees, seorang kosmologis dari Inggris, dalam suatu kesempatan wawancara menyatakan: [‡]

We can perhaps find intimations of the existence of these other universes. They may affect some detail of the quantum mechanics; there may be gravitational interaction between our universe and another separated by a few millimetres in some other dimension. One of the challenges of 21st-century physics, in my opinion, is to understand the relationship of gravity to the other forces and thereby give us a firmer picture of the initial tiny fraction of a second of our Big Bang. When we have that understanding, we will know whether our Big Bang has unique properties or whether it was part of some ensemble which could display variety. I think it will be attractive if it turns out that there is a multiverse allowing a variety of big bangs.

Dalam bidang fisika, khususnya dalam mekanika kuantum, dikenal istilah interpretasi Copenhagen (Copenhagen Interpretation). Sebagai teori tentang atom, mekanika kuantum mungkin merupakan teori yang paling sukses dalam sejarah ilmu alam. Mekanika kuantum memungkinkan fisikawan, ahli kimia, dan para insinyur mengembangkan berbagai teknologi baru melalui pemahaman akan objek-objek atomik. Namun demikian, teori mekanika kuantum ini juga menjadi tantangan bagi imajinasi kita. Mekanika kuantum sepertinya melanggar beberapa prinsip dasar fisika klasik yang telah cukup lama diyakini kesahihannya. Oleh karena itu, interpretasi mekanika kuantum diperlukan untuk menjelaskan pelanggaran-pelanggaran ini. Salah satu perintis interpretasi mekanika kuantum adalah interpretasi Copenhagen, yang terutama dilakukan oleh Niels Bohr, Werner Heisenberg, dan Max Born. Sebenarnya, Bohr dan Heisenberg tidak pernah secara penuh sepakat pada bagaimana memahami formulasi matematis mekanika kuantum, dan tidak satu pun dari mereka yang pernah menggunakan istilah interpretasi Copenhagen. Bohr bahkan menjauhkan dirinya dari apa yang ia sebut interpretasi subjektif Heisenberg.[14]

Ketika ilmu alam menemui kebuntuan untuk menjelaskan satu fenomena secara formal, metode interpretasi menjadi salah satu alternatif untuk menjawabnya, walaupun sebagian besar ilmuwan yakin bahwa jawaban ini sebenarnya bukan jawaban yang memuaskan. Ketika para ahli fisika tidak dapat menjelaskan apa makna fisis simbol ψ("psi") dalam persamaan fungsi gelombang Schroedinger, walaupun penyelesaian matematisnya bisa ditemukan. Akhirnya dilakukanlah suatu interpretasi yang menyatakan bahwa kuadrat dari ψ sebagai rapat probabilitas menemukan partikel pada posisi dan waktu tertentu[15].

Dalam bidang biologi molekuler, genom makin sering dirujuk sebagai teks atau kode, yang selanjutnya diinterpretasikan sebagai pembeda antara satu organisme dengan organisme yang lain.[16] Genom menjadi sangat masuk akal - tetapi menimbulkan kebingungan untuk menafsirkan pada awalnya - menjadi book of life, dan menimbulkan keinginan untuk menafsirkannya lebih jauh. Kadang-kadang, genom dikaitkan dengan probabilitas ada tidaknya penyakit keturunan.

Dalam teori evolusi yang diajukan oleh Darwin, masih tetap diperdebatkan apakah evolusi berkaitan dengan keyakinan keagamaan ataukah karena memang ada aturan ilmiahnya seperti yang diusulkan oleh Darwin. Karena para peneliti hanya dapat melakukan simulasi, dan tidak dapat membawa teori evolusi ke laboratorium dan diverifikasi, maka para peneliti tidak dapat menyelesaikan pertanyaan-pertanyaan tersebut. Argumen-argumen yang ada tersebut tetap akan dalam status sebagai interpretasi di mana fakta-fakta empiris dan argumen-argumen logis dikemukakan untuk mendukung masing-masing pendapat dengan derajat kepuasan yang berbeda-beda.

Dalam bidang medis, hermeneutik juga berperan dalam praktiknya. Salah satu pendekatan hermeneutik yang mungkin dalam bidang medis melibatkan pandangan pasien sebagai teks yang harus diinterpretasikan. Meskipun pandangan ini bukan tanpa penolakan, satu cara untuk menerapkan hermeneutik ke dalam bidang kedokteran adalah dengan mengasumsikan keluhan pasien sebagai teks. Keluhan pasien kemudian diinterpretasikan melalui berbagai sumber kedua yang pada akhirnya membentuk catatan medis pasien tersebut. Metode interpretasi untuk praktik pengobatan adalah melalui rencana treatment (perlakuan). Kualitas rencana treatment ini didasarkan pada pengalaman medis sebelumnya dan pendidikan yang diperoleh oleh tenaga medis. Seiring dengan berjalannya waktu, tenaga medis tersebut dapat memverifikasi hasil interpretasinya melalui progress yang dicapai pasien. Pada akhirnya, interpretasi memungkinkan pasien mendapatkan hidup baru dari awal dengan tubuh atau jiwa yang sudah sehat.

Kesimpulan
Sebagai kesimpulan, dapat disebutkan bahwa walaupun pendekatan hermeunetik tidak begitu memuaskan para ilmuwan dalam rangka menjelaskan berbagai fenomena alam, namun ternyata pendekatan ini memiliki kontribusi yang cukup penting dalam sejarah perkembangan ilmu-ilmu alam. Pendekatan hermeneutik sebagai metode alternatif juga ikut mendukung terjadinya scientific revolution sebagaimana yang disebutkan oleh Thomas Kuhn. Ilmu-ilmu alam yang oleh penganut paham positivism dianggap sebagai ilmu pengetahuan yang benar-benar objektif, ternyata juga memiliki sedikit sifat subjektif dan tidak benar-benar terbebas dari aspek historisnya.

Referensi


[*] Paham geosentris berpendapat bahwa bumi merupakan pusat tata surya, sedangkan paham heliosentris memandang matahari sebagai pusat tata surya.

[†] Ontologi atau metafisika umum adalah ilmu yang mempelajari segala sesuatu yang "sungguh-sungguh ada" (ontos on, Yunani) menurut aspeknya yang paling umum (Tjahjadi, Simon, P., Petualangan Intelektual, Penerbit Kanisius, 2004 Halaman 137)

[‡] Sir Martin Rees, dalam wawancara dengan editor Encarta, Latha Menon, dalam Microsoft Encarta Encyclopedia 2006 Edition, 2005


[1] Hardiman, F. Budi, Melampaui Positivisme dan Modernitas, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 2003,  Halaman 22-24.

[2] Okasha, Samir, Philosophy of Science: A very Short Introduction, Oxford University Press, Oxford, 2002, Halaman 77-78.

[3] Sumaryono, E, Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat, Penerbit Kanisius, 1999, Halaman 41.

[4] Grassie, William, J., "Hermeneutics in Science and Religion", Contribution to Encyclopedia of Religion and Science, Vol.1, Macmillan Reference, 2003

[5] Sumaryono, E, Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat, Penerbit Kanisius, 1999, Halaman 51-54.

[6] Sumaryono, E, Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat, Penerbit Kanisius, 1999, Halaman 63-64.

[7] Heelan, Patrick, A., "After Postmodernism: The Scope of Hermeneutics in Natural Science", dalam Studies in the History and Philosophy of Science (Cambridge)

[8] Okasha, Samir, Philosophy of Science: A very Short Introduction, Oxford University Press, Oxford, 2002, Halaman 81-84.

[9] Bernstein, Richard, J., Beyond Objectivism and Relativism: Science, Hermeneutics, and Praxis, University of Pennsylvania, Philadelphia, 1985, Halaman 22.

[10] Bernstein, Richard, J., Beyond Objectivism and Relativism: Science, Hermeneutics, and Praxis, University of Pennsylvania, Philadelphia, 1985, Halaman 30-31.

[11] Malhotra, Yogesh, Role of Science in Knowledge Creation: A Philosophy of Science Perspective, BRINT Institute, 1994, (URL: http://www.kmbook.com/science.htm" title="http://www.kmbook.com/science.htm" target="ˍblank"http://www.kmbook.com/science... ).

[12] Heelan, Patrick, A., "After Postmodernism: The Scope of Hermeneutics in Natural Science", dalam Studies in the History and Philosophy of Science (Cambridge)

[13] Usher, Peter, D., "Astronomy and The Canons of Hermeneutics: Mercury and Elusiveness of Meaning, dalam The Astronomy Quarterly, Vol. 3, Pachart Publishing House, Tucson, 1979.

[14] Esfeld, Michael, "Quantum Holism and the Philosophy of Mind, dalam Journal of Consciousness Studies 6, 1999.

[15] Wilson, Jerry, D., Buffa, Anthony, J., Physics, 3rd Ed, Prentice-Hall Inc., New Jersey, 1990, Halaman 870-871.

[16] Cherfas, Jeremy, The Human Genome, Dorling Kindersley, London, 2002, Halaman 28.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar