Oleh: Inggar Saputra
Dua kata yang sulit dilepaskan. Menyatu dalam pikiran dan perbuatan. Bicara pendidikan sebagai unsur strategis yang mencerdaskan anak Indonesia. Dalam posisi itu, ada peran guru di dalamnya. Seorang sosok yang diberikan gelar pahlawan tanpa tanda jasa. Sebab diakui atau tidak seperti orang tua, jasa guru sulit dibalas oleh muridnya.
Sampai sekarang kita dapat melihat betapa jasa besar seorang guru. Guru mengajarkan anda membaca, menulis dan berhitung (calistung). Berbekal kesabaran dan kerja keras, pelan tapi pasti kita akhirnya mengenal angka dan huruf. Beranjak dewasa, guru mengenalkan pemanfaatan keduanya sehingga dapat berdaya maksimal dalam kehidupan kita di masa mendatang.
Sosok guru adalah teladan tidak kenal lelah dalam memberikan nilai positif seperti kedisiplinan, kejujuran dan semangat untuk bekerja keras. Sebuah nilai konstruktif dan positif sehingga kita bisa meraih cita-cita yang diinginkan. Sungguh, Allah SWT memberikan berjuta pahal atas kerja keras guru yang membantu terciptanya dokter, pebisnis, direktur dan berjuta profesi lain.
Guru adalah manusia yang tidak menuntut lebih dari muridnya. Baginya kesenangan tidak terbayarkan melihat anak didiknya sukses. Sebab guru menyadari fungsinya, sebagai pendidik dan pengajar. Mengajar bermakna memberikan (transfer) ilmu pengetahuan. Mendidik dimaknai sebagai sarana menanamkan nilai dan kecerdasan positif baik kecerdasan intelektual (IQ), kecerdasan spiritual (SQ) dan kecerdasan emosional (EQ).
Hak dan Budaya Menulis
Tiap tahun Indonesia merayakan hari guru sebagai lambang kebanggaan korps Oemar bakrie. Tapi setiap tahun kita juga bertanya, apakah guru mendapatkan penghargaan layak dari pemerintah Indonesia? Apakah pekerjaan memanusiakan manusia dan mencerdaskan anak Indonesia sudah tertunaikan haknya?Kita perlu mengajukan pertanyaan kritis itu. Sebab fenomena yang terjadi selama ini, apresiasi terhadap kinerja guru sering terbatas penilaian aspek materi. Peningkatan kesejahteraan dianggap sebagai standar terbaik pelayanan guru. Tentu pandangan itu tidak sepenuhnya benar mengingat penguatan kapasitas keilmuan dan perlindungan hak guru masih terabaikan.
Meski sudah ada mekanisme sertifikasi misalnya, fakta mengatakan guru masih belum diberdayakan untuk membuat karya tulis. Pelatihan motivasi kepenulisan terhadap guru belum menjangkau semua kalangan. Tidak jarang, sertifikasi menjadi ajang transaksi oknum tidak bertanggung jawab. Sehingga pasca sertifikasi tidak ada keterampilan menulis yang diharapkan terkonstruksi dari sosok guru professional.
Selain pandangan akademis, perlindungan hak guru masih jauh dari harapan. Euforia peningkatan kesejahteraan masih bersifat seremonial. Banyak guru sampai sekarang masih mengalami keterlambatan pembayaran ksejahteraan. Mereka dipaksa menunggu penuh kesabaran sebelum menikmati hasil jerih payah mengajar di kelas. Kondisi ini kontras dengan beban tuntutan mengajar guru yang berat.
Persoalan itu seharusnya menjadi prioritas pemerintah agar tidak mengganggu proses belajar mengajar. Jangan sampai guru Indonesia malas menulis sehingga keinginan menjadi guru profesional gagal tercapai. Kebutuhan menulis dan menghasilkan karya harus terus mendapatkan sokongan dan dorongan sebagai budaya akademis bagi guru Indonesia.
Pemerintah juga dituntut jangan mengobral janji. Keputusan menaikkan kesejahteraan guru harus ditunjang perbaikan mekanisme penyaluran “uang kesejahteraan”. Mentalitas birokrasi yang panjang sudah waktunya dihapus agar tidak menyulitkan hak yang sepantasnya diterima guru.
Membangun Guru Profesional
Guru merupakan pekerjaan yang mulia dalam menciptakan generasi cemerlang dan dapat menjadi panutan di tengah-tengah masyarakat. Oleh karenanya guru harus dapat menunjukkan sikap yang elegan dan profesional. Apalagi UU nomor 14/2005 tentang guru dan dosen mengamanatkan terdapat beberapa persyaratan seorang guru profesional, baik kualifikasi, ataupun kompetensi. Seorang guru profesional harus berkualifikasi pendidikan minimal sarjana (S1). Sedangkan dari segi kompetensi, guru profesional harus memiliki empat kompetensi, yaitu: (1) kompetensi paedagogik, (2) kompetensi sosial, (3) kompetensi pribadi, dan (4) kompetensi profesi. Setiap kompetensi itu juga sudah jelas indikatornya.
Ironisnya dunia pendidikan Indonesia masih menyisakan masalah kesenjangan antara harapan dan kenyataan di lapangan. Apa yang sudah dirumuskan dalam tujuan pendidikan nasional mengalami banyak penyimpangan. Keseimbangan hak dan kewajiban belum berbanding lurus. Seperti tercermin dalam persoalan budaya menulis guru yang minim dan keterlambatan pembayaran uang kesejahteraan guru.
Untuk itu, pekerjaan besar menunggu pemerintah untuk meningkatkan keseimbangan hak dan kewajiban guru. Jangan sampai profesionalitas yang diinginkan semakin menjauh dari harapan akibat kebijakan dan sistem yang ada berjalan tidak profesional. Seorang guru juga dituntut bertangggung jawab meningkatkan kapasitas keilmuan agar tercipta kesinergisan membangun pendidikan nasional sehingga mampu menjalankan amanat mencerdaskan kehidupan bangsa.
Inggar Saputra Pengurus Pusat Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (PP KAMMI)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar