Ketegasan itu diwujudkan melalui penegakan hukum yang kokoh dan konsisten dan menggerakkan semua aparatur penegak hukum untuk bekerja dengan baik. Pendapat yang disampaikan mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla dan Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin itu merespons penilaian bahwa maraknya konflik yang disertai anarkisme massa––seperti bentrokan di Desa Sidomulyo, Kecamatan Sidomulyo, Kabupaten Lampung Selatan, pembakaran kantor kabupaten di Bima,Nusa Tenggara Barat, dan demo buruh Bekasi,Jawa Barat,yang memblokade jalan tol––terjadi karena ketidaktegasan pemerintah. Menurut Kalla, sebagai negara, Indonesia memiliki perangkat hukum dan peraturan dan itu semestinya dilaksanakan.
“Kita ini negara hukum. Tapi kenapa seakan-akan kita berada di hukum rimba jika melihat banyaknya konflik. Yang menentukan adalah kekuatan dan bukan aturan-aturan yang ada dalam hukum itu sendiri,”ujar Kalla seusai menjadi pembicara dalam Pekan Konstitusi yang diselenggarakan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan International Conference of Islamic Scholars (ICIS) di Jakarta kemarin. Namun, sebelum dilakukan penegakan hukum, Ketua Umum Palang Merah Indonesia (PMI) itu meminta pemerintah terlebih dulu membangun dialog dan sebaliknya pihak-pihak yang bertikai pun harus membuka diri untuk mendengar dan mendahulukan upaya memahami perbedaan.
“Jadi pada tahap pertama tentu harus ada dialog.Kemudian masuk tahap kesepakatan. Maka itu saya katakan bahwa pemerintah pertama harus terbuka,kemudian harus tegas ketika melaksanakan kesepakatan,”ungkapnya. Kalla kemudian menandaskan, dalam negara demokrasi, aksi unjuk rasa tidak dilarang karena dinilai sebagai bentuk dan cara menyampaikan tuntutan agar lebih gampang didengar dan dilihat. Namun, imbuh dia, langkah itu jangan sampai melanggar dan mengganggu kepentingan umum.“Demokrasi itu adalah cara dan dia bukan tujuan. Boleh demo sebagai bentuk ekspresi terhadap tuntutan, tapi tidak melanggar kepentingan umum.
Menutup jalan tol,memblokade atau menguasai pelabuhan, bakar-bakar rumah dan kantor, ini semua kan mengganggu kepentingan umum. Tidak boleh dong,”imbuhnya. Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin sepakat, ketegasan pemerintah memang menjadi salah satu kunci utama dalam menyelesaikan berbagai konflik di masyarakat. Salah satu bentuk ketegasan itu, kata dia, adalah dengan menggerakkan semua aparatur penegak hukum untuk bekerja dengan baik. “Kita adalah negara demokrasi dengan aturan konstitusi, undang-undang, dan hukum sebagai pegangan. Kalau pemerintah tidak tegas dalam hal ini, masalah tak akan selesai, malah semakin luas dan melebar,”ujarnya.
Di sisi lain, dia meminta pemerintah dan para politikus saat ini seharusnya mengurangi syahwat politik agar tidak semua kasus dan masalah diambil manfaatnya demi keuntungan politik dan dengan syahwat dan nafsu yang merusak. Dalam konteks konstitusi, imbuh Din, syahwat politik ini jelas membuat tujuan berbangsa dan bernegara yang ditanamkan para pendiri bangsa telah bergeser. “Akibat syahwat politik, semua jadi berantakan.Masyarakat akhirnya kemudian lebih mengedepankan kebebasan dibandingkan kehidupan sosial dan budaya kita yang beradab.
Kerusuhan dan anarkisme di mana-mana.Pemerintah dan politisi sibuk memikirkan kekuasaan dan lupa tujuan dari kekuasaan itu,”ujarnya. Sementara itu, mantan Wakil Presiden Try Sutrisno menilai konflik dan kekerasan semakin mudah terjadi di manamana akibat pudarnya rasa kebersamaan dan persatuan di kalangan masyarakat.Kondisi ini,kata dia,membuktikan bahwa arah kendali bangsa sudah bergeser dari tujuan negara didirikan, yakni mewujudkan negara yang merdeka, bersatu, adil,dan makmur.
“Sejauh kita menyimak dan menelaah, saya merasakan bahwa kemerdekaan dan persatuan mulai hilang di antara bangsa Indonesia. Keadilan dan kemakmuran sudah bukan milik rakyat lagi,”ujarnya. Dalam pandangan mantan Panglima ABRI itu, salah satu penyebab banyaknya kerusuhan adalah perubahan Pasal 33 UUD 1945 yang membuat liberalisasi ekonomi di mana perekonomian nasional semakin dikuasai asing. “Sedangkan rakyat tak berdaulat dan makin tertekan. Inilah salah satu penyebab kerusuhan yang marak,”ungkapnya. Adapun sosiolog dari Universitas Airlangga (Unair) Surabaya Bagong Suyanto mengidentifikasi konflik sosial banyak dipicu dendam lama.
Konflik yang saat ini pecah bukan hanya disebabkan masalah yang sekarang muncul,melainkan dilatarbelakangi pula adanya sentimen antarkelompok tersebut. “Pemicu yang muncul ini hanya sebagai pemercepat konflik tersebut. Karena pada dasarnya akar konflik tersebut sudah ada sebelumnya. Perasaan ingroupdan sentimentality tak mungkin muncul tanpa adanya pemicu,” kata Bagong saat dihubungi SINDO. Bahkan, pola konflik yang terjadi bisa semakin tidak jelas apa yang menjadi latar belakangnya. Konflik horizontal tersebut bisa menjadi perilaku kerumunan.
Tanpa mengetahui tujuannya, massa bisa saling melakukan penyerangan. Jika hal ini terjadi,keberadaan aparat keamanan pun seolah tak dihiraukan oleh mereka. Solidaritas di antara tiap kelompok berubah menjadi solidaritas yang tidak jelas.”Kondisi ini bisa berubah menjadi konflik ekspresif,”tandasnya.
Sumber : Harian Seputar Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar