Oleh: Inggar Saputra*
Pendidikan sejatinya adalah usaha mencerdaskan dan meningkatkan kesejahteraan kehiduapan manusia. Itu mengapa sebagian besar negara meprioritaskan pendidikan sebagai elemen strategis dan prioritas dalam pembangunan nasional. Jepang misalnya, memiliki standar pendidikan nasional yang mengutamakan 80% keterampilan hidup (life skill) dan 20% kecerdasan intelektual.Wajar akhirnya banyak lulusan pendidikan mereka masuk ke sektor industri sesuai kapasitas Jepang sebagai negara industri besar di Asia.
Pendidikan formal di Indonesia terdiri atas 4 tingkatan, yaitu Taman Kanak-Kanak (TK), Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA), dan Perguruan Tinggi (PT). Pemerintah setidaknya telah menunjukkan betapa pedulinya terhadap kehidupan pendidikan di negeri ini.
Tapi amat disayangkan setiap kali pergantian kepemimpinan, kebijakan yang dihasilkan ikut berganti. Sampai sekarang pendidikan Indonesia belum pernah berhasil menetapkan standarisasi terbaik untuk kemajuan anak bangsa. Dapat dibayangkan bagaimana peserta didik pernah merasakan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan Pendidikan Karakter. Pergantian kurikulum ini sangat merusak pendidikan sehingga Ketua Umum PGRI Sulistiyo menyindir “kurikulum Indonesia adalah kurikulum coba-coba”.
Tidak hanya persoalan kurikulum yang berbanding lurus dengan memburuknya mutu pendidikan. Strategi dan aturan (konsititusi) pendidikan Indonesia juga belum menemukan standarisasi yang tepat. Salah satu yang menjadi sorotan adalah kehadiran program Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI). Sebuah megaproyek yang mencita-citakan siswa berfikir global dan sekolah yang mendunia. Harapan yang sifatnya mengawang-awan seperti kritik Darmaningtyas.
Repotnya Sekolah Bertarif Internasional
Program RSBI mulai dijalankan pemerintah sejak tahun 2005. Kebijakan ini adalah impelementasi pasal 50 ayat 3 UU 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pasal tersebut berbunyi “ pemeirntah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional”.
Sebagai tindak lanjut UU itu, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah No 17 tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan dan Peraturan Menterii Pendidikan Nasional No. 78 tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Sekolah bertaraf Internasional. Aturan ini menjadi dasar hukum berdirinya RSBI.
Awalnya diharapkan RSBI berkembang sebagai sekolah unggulan di penetas internasional tapi tetap merakyat. Itu mengapa pemerintah memberikan bantuan pembinaan dan subsidi dengan skala berbeda. Bantuan ini bertujuan meningkatkan kapasitas dan kualitas RSBI. Sebab perkembangan RSBI sangat cepat di seluruh Indonesia. Berdasarkan data yang ada sudah berkembang sebanyak 1305 RSBI dari berbagai level pendidikan.
Tapi Ironisnya banyak terjadi penyimpangan yang dilakukan RSBI. Pertama, banyak guru RSBI belum berijazah S-2 dan tidak lancar berbahasa Inggris. Hampir di seluruh Indonesia, pendidik RSBI lulusan S-2 hanya kepala sekolah. Kondisi ini membuat Kualifikasi guru RSBI dipertanyakan. Sebab Kemdikbud sudah menganggarkan dana peningkatan kualifikasi pendidikan. Ironisnya pemerintah berkelit di balik rendahnya penyerapan anggaran yang hanya mencapai 50% sepanjang tahun 2011.
Kedua, mahalnya biaya pendidikan RSBI sehingga menyulitkan siswa miskin untuk mendapatkan kesempatan pendidikan. Untuk masuk RSBI dibutuhkan uang 5 – 10 juta rupiah. Kondisi ini sangat menyesakkan dada siswa cerdas tapi miskin. Mereka gagal menikmati bangku RSBI karena tidak mampu membayar biaya masuk. Tidak heran banyak pihak mempertanyakan RSBI apakah diperuntukkan bagi warga yang mampu. Sedangkan warga menengah dan miskin terpaksa harus memilih sekolah lain. Padahal, banyak warga miskin yang pintar dan mampu bersaing di dunia international.
Kita layak mempertanyakan hidden agenda di balik penerapan sekolah negeri RSBI yang biayanya mahal dan tidak bisa dicicil. Sebab adanya RSBI sangat bertentangan dengan sila kelima Pancasila karena memutus akses warga negara khususnya warga miskin mendapatkan hak menikmati keadilan dalam bidang pendidikan. Jika dibiarkan, neagra dapat digugat karena melegalkan komersialisasi pendidikan dan menciptakan kastanisasi pendidikan antara kaya dan miskin.
Ketiga pengaburan makna bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu. Adanya kewajiban menerapkan bahasa pengantar menggunakan bahasa Inggris melemahkan jati diri bangsa. “Pemaksaan” bahasa Inggris mendorong tergerusnya bahasa Indonesia dan mendorong kerapuhan mentalitas anak Indonesia. Konsep RSBI cenderung menjiplak pola Barat yang bertumpu pada kapitalisme dan perusakan bahasa nasional. Seharusnya siswa RSBI mendapatkan hak mengenal kebudayaan nasional dan ditanamkan budaya ketimuran, bukan mengekor adat bangsa luar. Apalagi wajib dipahami intervensi kebudayaan dapat merusak sikap dan kepribadian nasional. Kondisi ini juga menunjukkan pemerintah tidak memiliki acuan kuat dalam menentukan kurikulum pendidikan nasional.
UU Pendidikan Nasional, Bukan UU Persekolahan
Melihat kegagalan pendidikan RSBI yang pro kepentingan asing. Sudah sepantasnya pemerintah menghentikan kebijakan RSBI dan mengembangkan kebijakan pendidikan pro rakyat. Apa pendidikan pro rakyat? Pendidikan pro rakyat adalah pendidikan yang berpihak kepada Pancasila, adat istiadat (kebudayaan) indonesia dan berkarakter spiritual. Ketika model pendidikan ini diterapkan, kita akan melihat banyak manusia Indonesia berjiwa nasionalis, spiritual sehat, berkarakter mulia dan memiliki kepedulian terhadap masa depan bangsa.
Pemerintah juga dituntut merevisi kembali UU SIstem Pendidikan Nasional agar tidak menjadi UU Persekolahan. Sebab banyak pasal UU Sisdiknas yang sibuk mengatur tata kelo sekolah, cenderung mengomersialisasi pendidikan dan rawan penyimpangan. Jika dibiarkan, tentu akan memperburuk masa depan dunia pendidikan Indonesia. Sehingga visi mulia “mencerdaskan kehidupan bangsa” gagal tercapai. Sekarang kita menunggu keberanian pemerintah merevisi UU Sisdiknas, menghapus RSBI dan tidak melegalkan komersialisasi pendidikan nasional. Sebab pendidikan adalah sarana mulia membangun manusia, bukan ladang bisnis yang mengutamakan laba.
*Inggar Saputra
Pengurus Pusat Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar