Rabu, 14 Desember 2011

Teori Belajar : Teori Bruner


Jerome Bruner, seorang ahli psikologi dari Universitas Harvard, Amerika Serikat, telah mempelajari bagaimana manusia memperoleh pengetahuan, menyimpan pengetahuan, dan mentransformasi pengetahuan. Menurut Bruner, belajar merupakan suatu proses aktif yang memungkinkan manusia untuk menemukan hal-hal baru di luar informasi yang diberikan kepada dirinya. Sebagai contoh, seseorang siswa yang mempelajari bilangan prima akan bisa menemukan berbagai hal penting dan menarik tentang bilangan prima, sekalipun pada awal guru hanya memberikan sedikit informasi tentang bilangan prima kepada siswa tersebut. Teori Bruner tentang kegiatan belajar manusia tidak terkait dengan umur atau tahap perkembangan (berbeda dengan Teori Piaget).

Ada dua bagian yang penting dari Teori Bruner, yaitu:
1.  Tahap-tahap dalam proses belajar
        Menurut Bruner, jika seseorang mempelajari sesuatu pengetahuan (misalnya suatu konsep matematika), pengetahuan itu perlu dipalajari dalam tahap-tahap tertentu agar pengetahuan itu dapat diinternalisasi dalam pikiran (struktur kognitif) orang tersebut. Proses internalisasi akan terjadi secara sungguh-sungguh (yang berarti proses belajar terjadi secara optimal) jika pengetahuan yang dipelajari itu dipelajari dalam tiga tahap yang macamnya dan urutannya adalah sebagai berikut.
a. Tahap enaktif, yaitu suatu tahap pembelajaran sesuatu pengetahuan di mana pengetahuan itu dipelajari secara aktif, dengan menggunakan benda-benda kongkret atau menggunakan situasi yang nyata.
b.  Tahap ikonik, yaitu suatu tahap pembelajaran sesuatu pengetahuan di mana pengetahuan itu direpresentasikan (diwujudkan) dalam bentuk bayangan visual (visual imagery),gambar, atau diagram, yang menggambarkan kegiatan kongkret atau situasi kongkret yang terdapat pada tahap enaktif tersebut di atas (butir a).
c.  Tahap simbolik, yaitu suatu tahap pembelajaran di mana pengetahuan itu direpresentasikan dalam bentuk simbol-simbol abstrak (abstract symbols), yaitu simbol-simbol arbiter yang dipakai berdasarkan kesepakatan orang-orang dalam bidang yang bersangkutan), baik simbol-simbol verbal (misalnya huruf-huruf, kata-kata, kalimat-kalimat), lambang-lambang matematika, maupun lambang-lambang abstrak yang lain.

          Menurut Bruner, proses belajar akan berlangsung secara optimal jika proses pembelajaran diawali dengan tahap enaktif, dan kemudian, jika tahap belajar yang pertama ini telah  dirasa cukup, siswa beralih ke kegiatan belajar tahap kedua, yaitu tahap belajar dengan menggunakan modus representasi ikonik; dan selanjutnya, kegiatan belajar itu diteruskan dengan kegiatan belajar tahap ketiga, yaitu tahap belajar dengan menggunakan modus representasi simbolik. Sebagai contoh, dalam mempelajari penjumlahan dua bilangan cacah, pembelajaran akan terjadi secara optimal jika mula-mula siswa mempelajari hal itu dengan menggunakan benda-benda kongkret (misalnya menggabungkan 3 kelereng dengan 2 kelereng, dan kemudian menghitung banyaknya kelereng semuanya). Kemudian, kegiatan belajar dilanjutkan dengan menggunakan gambar atau diagram yang mewakili 3 kelereng dan 2 kelereng yang digabungkan tersebut (dan kemudian dihitung banyaknya kelereng semuanya, dengan menggunakan gambar atau diagram tersebut). Pada tahap yang kedua  siswa bias melakukan penjumlahan itu dengan menggunakan pembayangan visual (visual imagery) dari kelereng, kelereng tersebut. Pada tahap berikutnya, siswa melakukan penjumlahan kedua bilangan itu dengan menggunakan lambang-lambang bilangan, yaitu : 3 + 2 = 5.
            Di SMP, dalam mempelajari irisan dua himpunan, siswa dapat mempelajari konsep tersebut dengan mula-mula menggunakan contoh nyata (konkret), misalnya dengan mengumpulkan data tentang siswa-siswa yang pergi ke sekolah dengan naik sepeda dan siswa-siswa yang menyukai olahraga bola basket. Kemudian menentukan siswa-siswa yang pergi ke sekolah dengan naik sepeda dan menyukai olahraga bola basket. Keadaan itu kemudian digambarkan dengan diagram Venn. Selanjutnya, irisan dua himpunan dapat didefinisikan secara simbolik, baik dengan lambang-lambang verbal maupun dengan lambang-lambang matematika (dalam hal ini notasi pembentukan himpunan).
Discovery learningdari Jerome Bruner, merupakan model pengajaran yang dikembangkan berdasarkan pada pandangan kognitif tentang pembelajaran dan prinsip-prinsip konstruktivis. Di dalam discovery learning siswa didorong untuk belajar sendiri secara mandiri. Siswa belajar melalui keterlibatan aktif dengan konsep-konsep dan prinsip-prinsip dalam memecahkan masalah, dan guru mendorong siswa untuk mendapatkan pengalaman dengan melakukan kegiatan yang memungkinkan siswa menemukan prinsip-prinsip untuk diri mereka sendiri. Pembelajaran ini membangkitkan keingintahuan siswa, memotivasi siswa untuk bekerja sampai menemukan jawabannya. Siswa belajar memecahkan masalah secara mandiri dengan keterampilan berpikir sebab mereka harus menganalisis dan memanipulasi informasi.
                         Pembelajaran menurut Bruner adalah siswa belajar melalui keterlibatan aktif dengan konsep-konsep dan prinsip-prinsip dalam memecahkan masalah dan guru berfungsi sebagai motivator bagi siswa dalam mendapatkan pengalaman yang memungkinkan mereka menemukan dan memecahkan masalah.

2. Teorema tentang cara belajar dan mengajar matematika
          Berdasarkan hasil-hasil eksperimen dan observasi yang dilakukan oleh Bruner dan Kenney, pada tahun 1963 kedua pakar tersebut mengemukakan empat prinsip tentang cara belajar dan mengajar matematika yang masing-masing mereka sebut sebagai ‘teorema’. Keempat teorema tersebut adalah:

a. Teorema Konstruksi (Construction Theorem)
          Di dalam teorema konstruksi dikatakan bahwa cara yang terbaik bagi seseorang siswa untuk mempelajari sesuatu konsep atau prinsip dalam matematika adalah dengan mengkonstruksi sebuah representasi dari konsep atau prinsip tersebut. Siswa yang lebih dewasa mungkin bisa memahami sesuatu konsep atau sesuatu prinsip dalam matematika hanya dengan menganalisis sebuah representasi yang disajikan oleh guru mereka; akan tetapi, untuk kebanyakan siswa. khususnya untuk siswa yang lebih muda, proses belajar akan lebih baik jika para siswa mengkonstruksi sendiri representasi dari apa yang dipelajari tersebut. Alasannya, jika para siswa bisa mengkonstruksi sendiri representasi tersebut mereka akan lebih mudah menemukan sendiri konsep atau prinsip yang terkandung dalam representasi tersebut, sehingga untuk selanjutnya mereka juga mudah untuk mengingat hal-hal tersebut dan dapat mengaplikasikannya dalam situasi-situasi yang sesuai. Seperti yang diuraikan pada penjelasan tentang modus-modus representasi, akan lebih baik jika para siswa mula-mula menggunakan representasi kongkret yang memungkinkan siswa untuk aktif, tidak hanya aktif secara intelektual (mental) tetapi juga secara fisik.

b.  Teorema Notasi  (Notation  Theorem)
Menurut apa yang dikatakan dalam teorema notasi, representasi dari sesuatu materi matematika akan lebih mudah dipahami oleh siswa apabila di dalam representasi itu digunakan notasi yang sesuai dengan tingkat perkembangan kognitif siswa. Sebagai contoh, untuk siswa sekolah dasar, yang pada umumnya masih berada pada tahap operasi kongkret, soal yang berbunyi: “Tentukanlah sebuah bilangan yang jika ditambah 3 akan menjadi 8”, akan lebih sesuai jika direpresentasikan dalam bentuk … + 3=8; sedangkan untuk siswa SMP, yang tingkat perkembangannya sudah lebih matang, soal tersebut akan lebih sesuai jika direpresentasikan dalam bentuk :     x + 3 = 8.
Penggunaan notasi yang tepat akan mempermudah ditemukannya penyelesaian untuk berbagai macam soal, mempermudah ditemukannya berbagai prinsip matematika, dan juga mempermudah pengembangan berbagai konsep, prinsip, dan prosedur dalam matematika.

c. Teorema Kekontrasan dan Variasi (Contrast and Variation Theorem)
            Di dalam teorema kekontrasan dan variasi dikemukakan bahwa sesuatu konsep matematika akan lebih mudah dipahami oleh siswa apabila konsep itu dikontraskan dengan konsep-konsep yang lain, sehingga perbedaan antara konsep itu dengan konsep-konsep  yang lain menjadi jelas. Sebagai contoh, pemahaman siswa tentang konsep bilangan prima akan menjadi lebih baik bila bilangan prima dibandingkan dengan bilangan yang bukan prima, sehingga perbedaan antara bilangan prima dengan bilangan yang bukan prima, menjadi jelas. Demikian pula, pemahaman siswa tentang konsep persegi dalam geometri akan menjadi lebih baik jika konsep persegi dibandingkan dengan konsep-konsep geometri yang lain, misalnya persegipanjang, jajarangenjang, belahketupat, dan lain-lain. Dengan membandingkan konsep yang satu dengan konsep yang lain, perbedaan dan hubungan (jika ada) antara konsep yang satu dengan konsep yang lain menjadi jelas. Sebagai contoh, dengan membandingkan konsep persegi dengan konsep persegipanjang akan menjadi jelas bahwa persegi merupakan kejadian khusus (a special case) dari persegipanjang, artinya: setiap persegi tentu merupakan persegipanjang, sedangkan suatu persegipanjang belum tentu merupakan persegi.
            Selain itu di dalam teorema ini juga disebutkan bahwa pemahaman siswa tentang sesuatu konsep matematika juga akan menjadi lebih baik apabila konsep itu dijelaskan dengan menggunakan berbagai contoh yang bervariasi. Misalnya, dalam pembelajaran konsep persegipanjang, persegipanjang sebaiknya ditampilkan dengan berbagai contoh yang bervariasi. Misalnya ada persegipanjang yang posisinya bervariasi (ada yang dua sisinya yang berhadapan terletak horisontal dan dua sisi yang lain  vertikal, ada yang posisinya miring, dan sebagainya), ada persegipanjang yang perbedaan panjang dan lebarnya begitu mencolok, dan ada persegipanjang yang panjang dan lebarnya hampir sama, bahkan ada persegipanjang yang panjang dan lebarnya sama. Dengan digunakannya contoh-contoh yang bervariasi tersebut, sifat-sifat atau ciri-ciri dari persegipanjang akan dapat dipahami dengan baik. Dari berbagai contoh tersebut siswa akan bisa memahami bahwa sesuatu konsep bisa direpresntasikan dengan berbagai contoh yang spesifik.  Sekalipun contoh-contoh yang spesifik tersebut mengandung perbedaan yang satu dengan yang lain, semua contoh (semua kasus) tersebut memiliki ciri-ciri umum yang sama.


d.   Teorema Konektivitas  (Connectivity Theorem)
              Di dalam teorema konektivitas disebutkan bahwa setiap konsep, setiap prinsip, dan setiap keterampilan dalam matematika berhubungan dengan konsep-konsep, prinsip-prinsip, dan keterampilan-keterampilan yang lain.
              Adanya hubungan antara konsep-konsep, prinsip-prinsip dan  keterampilan-keterampilan itu menyebabkan struktur dari setiap cabang matematika menjadi jelas. Adanya hubungan-hubungan itu juga membantu guru dan pihak-pihak lain (misalnya penyusun kurikulum, penulis buku, dan lain-lain) dalam upaya untuk menyusun program pembelajaran bagi siswa.
              Dalam pembelajaran matematika, tugas guru bukan hanya membantu siswa dalam memahami konsep-konsep dan prinsip-prinsip serta memiliki keterampilan-keterampilan tertentu, tetapi juga membantu siswa dalam memahami hubungan antara konsep-konsep, prinsip-prinsip, dan keterampilan–keterampilan tersebut. Dengan memahami hubungan antara bagian yang satu dengan bagian yang lain dari matematika, pemahaman siswa terhadap struktur dan isi  matematika menjadi lebih utuh.
              Perlu dijelaskan bahwa keempat teorema tersebut di atas tidak dimaksudkan untuk diterapkan satu per satu dengan urutan seperti di atas. Dalam penerapan (implementasi), dua teorema atau lebih dapat diterapkan secara bersama dalam proses pembelajaran sesuatu materi matematika tertentu. Hal tersebut bergantung pada karakteristik dari materi atau topik matematika yang dipelajari dan karakteristik dari siswa yang belajar.

3.   Pendekatan spiral dalam pembelajaran matematika
              Disebabkan oleh adanya peningkatan taraf kemampuan berpikir para siswa sesuai dengan perkembangan kedewasaan atau kematangan mereka, Bruner menganjurkan perlu digunakannya pendekatan spiral (spiral approach) dalam pembelajaran matematika. Maksudnya, sesuatu materi matematika tertentu seringkali perlu diajarkan beberapa kali pada siswa yang sama selama kurun waktu siswa tersebut berada di sekolah, tetapi dari saat pembelajaran yang satu ke saat pembelajaran berikutnya terjadi peningkatan dalam tingkat keabstrakan dan kompleksitas dari materi yang dipelajari, termasuk peningkatan dalam keformalan sistem notasi yang digunakan. Sebagai contoh, pada suatu saat siswa SMP mempelajari  fungsi yang daerah asal dan daerah kawannya berupa himpunan yang berasal dari kehidupan sehari-hari, dan dengan sistem notasi yang masih sederhana. Pada suatu saat di kemudian hari, siswa yang sama mempelajari fungsi untuk kedua kalinya, tetapi dengan melibatkan daerah asal dan daerah kawan yang berupa himpunan bilangan, dengan sistem notasi yang lebih formal. Pada saat berikutnya, pembahasan tentang fungsi bisa ditingkatkan lagi baik dalam hal kerumitan materi, variasi (kelengkapan) materi, maupun dalam sistem notasi yang digunakan. Peningkatan dalam hal materi pembelajaran dan sistem notasi tersebut diupayakan seiring dengan peningkatan kemampuan dan kematangan siswa dalam berpikir, sesuai dengan perkembangan kedewasaan atau kematangan siswa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar