Selasa, 26 April 2011

Pelajaran dari Pengemis Buta


Seorang pengemis tiba-tiba menghampiri saat saya memilih buah di kios pinggir jalan. Saya perhatikan raut wajah pria berusia sekitar 25 tahun itu, begitu memelas. Tubuhnya lemah bertopang pada tongkat, kedua matanya terpejam. Saya meyakini dia tak dapat melihat alias buta. Prihatin dengan kondisinya, saya pun memberikan beberapa lembar uang ribuan kepadanya.
Besoknya, saya kembali ke tempat yang sama. Pengemis buta itu masih duduk di sana, ia tampak termenung. Iseng, saya menghampirinya dan bertanya di mana dia tinggal. Lalu mengalirlah cerita menyedihkan.
Ternyata pria itu hidup sebatang kara dan buta sejak lahir. Dengan keterbatasannya, ia sulit mendapat pekerjaan apalagi mengandalkan orang lain. Tak jarang, bukan bantuan yang dia dapat tapi caci maki. Saya terharu mendengar kisahnya. Mulai hari itu, saya tak pernah absen mampir ke kios buah. Saya selalu memberi uang atau makanan kepadanya.
Suatu sore, saya mendatangi kios buah terburu-buru. Saya sempat melihat pengemis itu tapi tak menghiraukan. Tiba-tiba saya mendengar dia berteriak memanggil, “Bu Haji! Lagi buru-buru ya?”
Suaranya yang nyaring langsung memecah keramaian. Saya segera berbalik. Insting saya menangkap adanya kejanggalan. “Kok kamu tahu saya ada di sini?” tanya saya heran.
“Ngg... saya dengar suara motor Ibu. Suaranya khas. Biasanya, Ibu suka kasih uang atau makanan,” jawabnya tergagap. 
“Hmm...,” saya bergumam.
Biasanya kan pendengaran orang yang tak dapat melihat lebih peka, pikir saya berhusnudzon.
“Bu Haji mau kemana? Kok buru-buru,” tanyanya lagi.
Deg! Nurani saya langsung tersentak.
Dari mana dia tahu kalau saya sedang terburu-buru?
“Lho, kok panggil saya Bu Haji? Saya kan belum pergi haji,” ujar saya balik bertanya.
“O... saya pikir Ibu sudah haji. Soalnya pakai kerudung putih,” jawabnya.
Pleng!
Kok dia bisa tahu kalau hari ini saya pakai kerudung putih? Bukannya dia tidak dapat melihat? Jangan-jangan? Saya langsung waspada.
Diam-diam si tukang buah berbisik, “Dia pura-pura buta, Bu,” katanya.
Saya tatap mata si pengemis lekat-lekat. Tanpa banyak tanya, saya langsung angkat kaki. Perasaan tertipu, marah, kesal semuanya bercampur jadi satu. Terkuaknya kebohongan tadi membuat saya seperti orang bodoh.
Saya heran, kenapa dia harus pura-pura buta? Bagaimana jika Allah menghendakinya buta sungguhan?
Bukankah Allah berkata berbohong adalah tanda orang munafik dan neraka tempat yang pantas. Lalu, mengapa kita masih melakukannya?
Saya tarik nafas panjang, ikhlas memaafkan si pengemis pura-pura buta itu. Pengalaman ini menjadi pelajaran buat saya untuk benar-benar menjauhi perkataan bohong dan menggunakan nikmat yang Allah berikan dengan sebaik-baiknya. Insya Allah...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar