Kamis, 12 Januari 2012

Etika Profesional dan Kebebasan Pers


Oleh Atmakusumah Astraatmadja*)

Hampir 150 tahun yang silam, seorang wartawan berbakat dan agresif di sebuah kota kecil Amerika Serikat, Horace Greeley, menerbitkan surat kabar Dailly Star, yang menurut penutur sebuah cerita, beritanya menjengkelkan sebagian pembacanya. Sebabnya ialah, sungguh ironis, karena keberanian koran itu mengungkap kebenaran dan membongkar kebatilan.

Horace tidak hanya bertugas sebagai reporter dan sekaligus redaktur, tetapi juga sebagai pencetak dan sekalian menjadi pengedar surat kabarnya.

Ketika ia menggunakan kertas bekas yang di satu sisinya masih kosong atau kertas pelapis dinding (wall paper) yang di satu sisinya bergambar bunga berwarna-warni. Ketika di seluruh kota kecil itu tidak lagi dijumpai kertas apapun dan menyabotan kiriman kertasnya masih terus berlangsung, Horace menuliskan beritanya di kedua sisi badan seekor sapi. Sapi itu dibawa keliling dari rumah ke rumah agar para pelanggannya dapat tetap memperoleh informasi terbaru.

Ketika di kota itu kehabisan tinta cetak, karena disabot olah orang-orang berpengaruh yang tidak menyukai pemberitaan Daily Star, dan mesin cetaknya juga mereka hancurkan, Horace tidak kehilangan akal. Ia menyuruh pembantunya, seorang anak belasan tahun yang tajam ingatannya, untuk menghafalkan berita-berita penting dan menuturkannya kembali di rumah-rumah para pelanggan. Lahirlah apa yang oleh masyarakat kota kecil itu disebut “Koran lisan” –katakanlah, cikal bakal siaran radio dan televisi.

Yang kehilangan akal justru orang-orang yang dikritiknya. Mereka memprovokasi penduduk untuk berdemonstrasi hendak menghancurkan kantor koran itu dan menggantung pemiliknya. Untunglah mereka dapat disadarkan dan dibubarkan oleh kawan Horace, yang dengan lantang berpidato seperti ini: “Apa kesalahan Daily Star? Menulis penjualan wiski yang dicampur minuman lain, padahal memang benar? Membebeberkan harga melangit yang ditetapkan oleh toko makanan dan minuman yang memegang monopoli? Membongkar permainan rendah penjualan peti mati yang memperkaya diri di atas penderitaan keluarga yang terkena musibah?”

Satu-satunya pemecahan, yang akhirnya terpikir oleh orang-oprang yang merasa dirugikan oleh pemberitana surat kabar itu, ialah menerbitkan Koran saingan, yang mereka namakan Epitaph (tulisan pada batu nisan untuk memperingati almarhum; dinamakan demikian karena salah seorang pendirinya adalah pengusaha pembuat peti mati).

Di manakah Epitaph memasang iklan untuk mencari pegawai? Tentu saja hanya di Dily Star, satu-satunya pesaing. Kawan Horace terheran-heran ketika iklan itu hendak dimuat di Daily Star dan berkata: “Kau pasti tidak akan memuat ini!” Tetapi, Horace menjawab enteng: “Daily Star tidak mengenal sensor”! Kebebasan pers tidak bisa ditawar!”

Kisah tadi masih agak panjang, dan kian lama semakin kedengaran tidak masuk akal. Memang benar, itu tadi hanyalah cerita fiktif; dikutip dari buku komik yang sudah lama beredera di Indonesia dan dibaca oeh anak-anak kita. Judulnya “Petualangan Lucky Luke: Daily Star, terjemahan dari komik Perancis.

Tetapi Horace Greeley bukanlah tokoh fiktif. Ia adalah wartawan reformis yang anti-perbudakan dan pelopor jurnalisme Amerika. Surat kabarnya, New York Tribune, paling berpengaruh di Amerika pada tahun 1850-an. Edisi akhri pekannya dibaca oleh sekitar 50000 pembaca, suatu jumlah yang besar pada masa itu. Sejumlah cendekiawan terkemuka menjadi penulis atau koresponden Koran ini, termasuk Karl Marx.

Walaupun petualangan pemilik dan wartawan Daily Star tadi hanyalah kisah fiktif, cerita itu dengan tepat merefleksikan semangat kebebasan pers yang tidak mengenal lelah dan tetap iniovatif, apapun hambatan yang harus dihadapi.

Agaknya itulah sebabnya mengapa sebagian besar media pers cetak di Indonesia akhir-akhir ini dapat dengan tabah –bahkan tangguh– melamppaui masa krisis ekononmi yang sangat merisaukan. Meskipun, banyak di antaranya yang “babak belur” secara finansial akibat kemerosotan jumlah iklan. Padahal, setengah dari hampir 300 surat kabar, majalah, dan tabloid yang ada waktu itu dikhawatirkan akan mengalami kematian dalam waktu singkat.

Sebaliknya dari ramalan sangat pesimistis itu, sejak 5 Juni tahun lalu sampa 2 Maret tahun 1999, Departemen Penerangan mengeluarkan 731 Surat Izin Usaha pErbitan Pers (SIUPP) baru, dan 40 persennya –atau hampir 300—dikabarkan sudah dapat terbit. Semangat dan dinamika kalangan pers ini, yang menunjukkan tetap tumbuhnya optimisme menghadapi masa depan, dapat berkembang berkat dibukanya kembali kebebasan pers oleh pemerintah yang sekarang setelah selama 40 tahun mengalami hambatan.

Memang, tidak semua media pers yang baru ini dapat berkembang dengan baik. Di Sulawesi Selatan, misalnya, ada tabloid yang hanya dapat terbit dengan tiras 500 sampai 700 eksemplar. Akan tetapi, semangat para pengasuhnya tetap tinggi, walaupun pemilik modalnya terus mengeluh dari edisi ke edisi karena menderita kerugian. Ini adalah tabloid-tabloid baru yang dikelola oleh para wartawan muda yang kritis dan idealistis, yang pada masa Orde Baru sulit mendapatkan SIUPP karena hambatan politis.

Kebebasan pers adalah kebebasan masyarakat untuk memperoleh informasi seluas-luasnya, kebebasan untuk dapat memilih media sesuai dengan minat dan aspirasi mereka, serta kebebasan untuk dapat menyalurkan pendapat, kritik, dan keluhan mereka melalui media pes.

Kebebasan ini dijamin dalam Ketetapan Majelis Permusyawartan Rakyat (MPR) nomor 17 tentang Hak Asasi Manusia, yang ditetapkan tanggal 13 November 1998. Pasal 20 dan 21 Ketetapan MPR itu menegaskan: “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya. Setiap orang berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan infomasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia,” Pada pasal 42 ditegaskan: “Hak warga negera untuk bekomunikasi dan memperoleh informasi dijamin dan dilindungi.”

Sama pentingnya adalah bahwa kebebasan pers dapat memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang makna perbedaan pendapat dalam pergaulan demokratis. Hanya dengan membiasakan diri untuk bersedia menjauhi naluri kekerasan. Ignazio Silone, sastrawan Italia, berpendapat bahwa penyelesaian masalah melalui kekerasan fisik adalah cara peradaban primitive, sedangkan penyelesainan persoalan oleh manusi modern adalah melalui argumentasi.

Kebebasan juga berarti membangun tanggung jawab. Hanyalah orang-orang yang bebas bertindak yang dapat diminta tanggung jawabnya. Sedangkan bagi orang-orang yang tidak bebas bertindak hanya dapat dimintakan tanggungjawabnya kepada pihak-pihak yang tidak memberinya kebebasan.

Bagi menteri penerangan kita yang pertama, Amir Sjarifuddin, kebebasan pers sangat penting untuk memupuk pendapat umum, dan terbentuknya pendapat umum mencerminkan beroperasinya kedaulatan rakyat. Hanya dua bulan setelah Indonesia merdeka, Oktober 1945, ia menegaskan: “Pikiran masyarakat umum (public opinion) itulah sendi dasar pemerintah yang berkedaulatan rakyat. Pers yang tidak merdeka tidak mungkin menyatakan pikiran masyarakat, (melainkan) hanya (mewakili) pikiran dari beberapa orang berkuasa saja. Maka asas kami ialah: “Pers haroes merdeka.”

Kebebasan pers, dengan demikian, pada hakikatnya adalah kebebasan bersuara bagi masyarakat pada umumnya. Maka, upaya mendirikan media pers pada dasarnya merupakan hak mendasar bagi setiap warga negara agar dapat mengumandangkan suaranya. Ya, benar, hak setiap warga, bukan semata-mata hak wartawan. Oleh karena itu, pers bertanggung jawab kepada masyarakat –setidaknya masyarakat pembaca, pendengar, danpenonton media masing-masing– yang dapat menjatuh-bangunkan media pers.

Mahatma Gandhi, pemimpin spiritual India itu, pernah mangatakan: “Tujuan jurnalisme satu-satunya hendaknya adalah pelayanan. Pers adalah satu kekuatan besar; tetapi, seperti air deras tak terkendali yang menenggelamkan seluruh daratan pedalaman dan menghancurkan tanaman, demikiuan pula pena yang tak terkendali dapat menghancurkan. Jika kendali itu berasal dari luar dirinya, ternyata lebih beracun daripada tanpa kendali. Kendali hanyalah bermanfaat apabila dilakukan dari dalam dirinya sendiri.”

Mahatma Gandhi rupanya hendak mengingatkan bahwa swasensor (selrfcensorship) yang berguna hanyalah yang berasal dari hati nurani pengelola media pers itu sendiri, bukan yang diakibatkan oleh tekanan-tekanan dari pihak-pihak di luar pers. Hati nurani yang jernih dan “kendali dari dalam dirinya sendiri”, itulah fondasi yang diperlukan untuk menegakkan etika pers bagi setiap wartawan.

*) Mantan Direktur Eksekutif Lembaga Pers Dr Soetomo (LPDS), Jakarta; Angota Dewan Pers 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar