Sabtu, 16 April 2011

Menggalakkan Urgensi Pendidikan Karakter dan Nilai Pluralis


Oleh : Maruntung Sihombing
Mengingat keterpurukan moral bangsa yang kian marak dan memprihatinkan, ada suatu kemirisan hati yang tak mampu untuk mengungkapkannya.
Bobroknya moral bangsa semakin memilukan dan bahkan merendahkan martabat bangsa dan negara saat ini. Mulai dari pemerintahan sampai level yang paling bawah. Hal itu dapat kita buktikan dengan masih meningkatnya tingkat korupsi di negara ini. Itu salah satu pertanda yang paling dominan bahwasanya karakter dan etika tidak lagi ada. Krisis karakter yang kian hari kian merajalela, mampu menempatkan bahkan membawa kita pada arah kemerosatan moral bangsa yang tak terelakkan lagi.
Kita juga sering merasakan dan mengalami betapa getirnya buah dari keperbedaan yang tidak diakui serta dihormati. Setidaknya dalam kurun waktu sepuluh tahun belakangan ini kita mengalami banyak peristiwa konflik berdarah diberbagai wilayah di Indonesia. Konflik tersebut begitu tragis, mengerikan bahkan tidak pernah terbayangkan. Api konflik sangat mudah tersulut oleh hanya isu kecil yang tidak terlalu penting. Sepertinya kita sangat mudah untuk marah, tersinggung, curiga dan berujung pada tindakan anarkis. Kita seakan kehilangan kearifan menyikapi keperbedaan yang nyata ada itu. Dan yang lebih parah lagi, bila sifat-sifat yang anti keperbedaan itu lestari dari generasi ke generasi, maka konflik tidak akan pernah selesai diantara kita
Maka dari situ, kita punya tanggung jawab moral yang sama dalam memperbaiki karakter yang mulai runyam ini. Melalui pendekatan pendidikan dengan adanya pendidikan agama dan pendidikan pancasila dan kewarganegaraan (PPKn) dianggap kurang mampu dalam meningkatkan dan membawa perilaku yang seharusnya. Oleh karena itu, perlu perhatian serius dari tiap elemen bagaimana tindakan yang sangat urgen untuk menanggulangi masalah ini. Krisis dan bobroknya etika manusia serta kurang menghargai perbedaan merupakan cermin betapa lemah dan kurangnya pendekatan dari bidang pendidikan maupun pendekatan yang lain.
Maka tidak berlebihan kalau pendidikan karakter/etika dijadikan sebagai panglima tertinggi saat ini. Keseimbangan antara nilai spritual dan akademik memang komponen yang harus berdampingan satu sama yang lain. Dan saat ini, hal seperti itu sudah tampak jarang kita temukan dalam setiap personal manusia. Adalah sangat ideal ketika dua komponen tersebut mencapai balances yang maksimal dan mampu berakar dan bertumbuh baik dalam setiap individu.
Kita harus mampu melihat kedepan tentang masa depan bangsa ini. Penyesalan yang datang terlambat akan menjadi dilematis tersendiri dan tak mampu diulang kembali. Oleh karena itu mari kita sama-sama memperbaiki dan menata kembali persoalan ini untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur serta bangsa dan negara yang bermartabat dan menjunjung tinggi nilai spritual (rohani) dan nilai-nilai luhur kebhinekaan.
Menggaungkan Pancasila Kembali
Tantangan dan hambatan nasionalisme kian hari, kian menjadi sebuah loncatan yang mulai melunturkan rasa nasionalisme itu. Mulai dari bangsa kita yang selalu diperhadapkan dengan gejala "radikalisme". Gejala ini membuat orang tidak toleran dengan perbedaan (diversity), serta penindasan terhadap kaum minoritas oleh kaum mayoritas.
Fonemena ini memperhadapkan kita dan mempertanyakan dimana sesungguhnya keberadaan pancasila sebagai falsafah dan pandangan hidup bangsa Indonesia (way of life). Revitalisasi Pancasila harus tetap digalakkan sebagai panglima dan tolak ukur dalam setiap tingkah laku dalam hidup sehari-hari.
Pancasila seyogianya menjadi jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia. Pengamalan pancasila tidak lain bertujuan untuk mewujudkan kehidupan pribadi dan kehidupan bersama yang kita cita-citakan. Kehidupan yang kita anggap baik itulah tujuan akhir dari pembangunan bangsa dan negara kita. Karena itu membangun bangsa dan negara harus berdasarkan pancasila yang pada akhirnya melahirkan manusia-manusia yang pancasilais.
Kalau kita kembali melihat dan merenungkan sejenak apa yang telah melanda negara kita saat ini, sungguh suatu tamparan yang sangat menyedihkan. Krisis moral dan krisis kepercayaan yang semakin melebar dan membengkak kelak suatu saat nanti akan menjadi batu duri yang akan menjadi bumerang tersendiri bagi bangsa Indonesia. Maukah kita pada akhirnya semua masalah terjawab dengan "revolusi sosial" yang sama halnya terjadi krisis di negara Timur Tengah? Saya kira tidak***.
Penulis adalah Mahasiswa PPKn-Unimed.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar