Minggu, 04 September 2011

Mudik Cermin Bias Pembangunan Nasional

JUMLAH pemudik meningkat dari tahun ke tahun. Tahun ini saja berdasarkan data Kementrian Perhubungan akan ada sekira 13 juta orang berpindah untuk mengunjungi kampung halaman dalam rangka berlebaran. Jumlah ini meningkat dari jumlah pemudik tahun lalu yakni 12 juta orang.

Beberapa pihak meyakini besarnya jumlah pemudik ini merupakan tambang emas bagi pembangunan daerah asal pemudik. Pemudik, memang biasa membawa sejumlah dana untuk keperluan berbagi dengan sanak keluarga dan keperluan konsumtif. Diharapkan, dari aktivitas pembelanjaan inilah, ekonomi lokal bergerak naik dan mendorong pembangunan daerah.

Tapi tunggu dulu. Pengamat administrasi pembangunan Irfan Ridwan Maksum justru mengatakan jangan terlalu berharap dari modal yang dibawa para pemudik. Pasalnya, kehadiran sejumlah besar pemudik di daerah asal bersifat sesaat dan hanya pada momen tertentu. ”Pembangunan yang terjadi di daerah saat musim mudik bersifat sesaat, sporadis, dan tidak sistematis,” ujarnya kepada okezone, belum lama ini.

Pemerintah Daerah (Pemda) pun tidak punya kuasa untuk mengatur penggunaan modal yang dibawa para pemudik ini, guna menggerakkan perekonomian daerah. Kecuali, jika Pemda menerapkan semacam retribusi rutin bagi para warganya yang merantau, meski ide ini terdengar janggal dan tidak adil bagi warga perantau.

Irfan mencontohkan, katakanlah seorang pemudik membawa pulang uang sejumlah Rp20 juta. Pemudik ini jelas punya pilihan, apakah uang akan dihabiskan untuk kepentingan konsumtif ataukah menjadi simpanan.

Jika dikonsumsi, maka untuk menyumbang pergerakan ekonomi lokal, dana tersebut harus dibelanjakan pada tempat-tempat usaha milik pengusaha lokal, utamanya sektor pariwisata daerah. Jika memilih untuk disimpan, maka dana harus dipastikan disimpan di bank lokal, bukan bank milik nasional. Ini dilakukan untuk menjaga agar perputaran dana memberi manfaat bagi pembangunan di daerah, bukannya kembali ke pusat.

Melihat manfaatnya yang tak seberapa bagi kemajuan di daerah, Irfan menyoroti fenomena mudik lebih sebagai akibat dari ketimpangan pembangunan nasional, yang kemudian memunculkan bias Jawa, bias kota, dan bias Jakarta. Dari keseluruhan jumlah pemudik tahun ini, Jakarta masih mendominasi dengan sekira 7 juta penduduknya yang mudik. Ini berarti, Jakarta masih menjadi magnet kuat bagi banyak orang untuk datang dan khususnya mengadu nasib.

Secara nasional, kata Irfan, belum meratanya pembangunan dikarenakan Indonesia belum memiliki kelembagaan pembangunan perkotaan nasional. Kebijakan politik otonomi daerah pun, rasanya sampai saat ini belum mengaitkan bagaimana kelembagaan perkotaan di daerah ditata. Akibatnya, Sumber Daya Manusia terus tersedot dan beralih ke kota-kota besar yang lebih menjanjikan dalam hal pembangunan, dan otomatis ketersediaan lapangan kerja.

Ya, mudik memang tradisi unik dari masyarakat Nusantara yang banyak menyimpan simbol-simbol penuh makna. Mudik merupakan ritual kultural. Selain sarat dengan ranah sosial dan religius, mudik identik dengan fenomena ekonomi. Pulang kampung adalah taruhan keberhasilan seorang pemudik di tanah rantau. Dan seyogianya mudik menjadi ajang berkumpul dengan keluarga dalam bingkai spritualitas, tidak sekadar pamer status.

sumber : okezone.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar