Allah SWT tidak hanya Maha "Ghafuur" (pengampun) tapi juga Maha "Afuwwun" (penghapus) terhadap segala macam dosa (Q.S. Az-Zumar : 53) di mana bila Dia berkenan mengampuni dosa seseorang, maka dihapuslah seluruh dosa dari diri orang tersebut. Sehingga yang bersangkutan tak ubahnya orang yang tidak pernah berbuat dosa (Hadits).
Prinsip ini berlaku bagi segala jenis dosa, terkecuali, "kufur" dalam berbagai bentuknya, di antaranya "syirik", yang apabila seseorang sampai wafatnya tidak bertaubat, maka Allah SWT tidak akan pernah mengampuninya (Q.S. An Nisaa' : 48, 116) yang bersangkutan terancam abadi di Neraka Jahannam, sedetik pun tidak akan berjumpa dengan Allah SWT yang hanya berkenan menjumpai hamba-hamba-Nya yang ada si surga (Q.S. Al Kahfi : 110, Al Maa-idah, 72)
Yang dimaksud "syirik" di sini, tentu saja tidak sebatas menyekutukan Dzat Allah SWT semata, sebab apalah artinya bila Allah SWT di-Esa-kan dalam Dzat-Nya, tapi tidak di-Esa-kan dalam sifat, aturan dan hukum-hukum-Nya ? Umumnya orang-orang musyrik sejak zaman Nabi Nuh As sampai saat ini meyakini Allah SWT dari sisi "Tauhid Rububiyyah" (Esa-nya Allah sebagai pencipta, pemelihara dam pendidik) yang membuat mereka kemudian tergelincir ke dalam kemusyrikan adalah dari sisi "Tauhid Uluuhiyyah" (Esa-nya Allah sebagai Dzat satu-satunya yang berhak disembah dalam ibadah secara integral).
Firman Allah SWT : "Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka, siapakah yang menciptakan langit dan bumi ?, niscaya mereka akan menjawab, semuanya diciptakan oleh Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui' (Q.S. Az Zukhruf : 9). "Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka, siapakah yang menciptakan mereka, niscaya mereka menjawab : "Allah", maka bagaimanakah mereka dapat dipalingkan (dari menyembah Allah) ?" (Q.S. Az Zukhruf : 87). Dengan kata lain, men-"Tauhid" (Esa) kan Allah SWT dalam pengabdian merupakan ujian terberat dalam mempertahankan dan mengembangkan fitrah iman dan Islam (Q.S. Al A'raaf : 172; Ar Ruum : 30). "Fitrah" dalam pengertian "suci" dari kekufuran dan kemusyrikan, dan dari segala dosa.
Ibadah yang dimaksud tentunya tidak sebatas ibadah “mahdhah” semata, tapi mencakup segala keterikatan dan keterkaitan hubungan antara manusia sebagai makhluk dengan Allah SWT sebagai Al Khalik seperti rasa cinta, takut, permohonan perlindungan, berdoa, bertawakkal, berharap, ruku, sujud, shalat, shaum, thawaf, berqurban, haji dan lain sebagainya. Termasuk syirik tentunya, yang berkeyakinan bahwa ada selain Allah SWT yang memiliki hak menetapkan aturan dan hukum. Menghalalkan yang diharamkan Allah SWT dan atau sebaliknya menetapkan undang-undang dan hukum, menghalalkan zina, riba, membuka 'aurat. Menetapkan hukum yang nyata-nyata bertentangan dengan hukum pidana Islam seperti potong tangan bagi pencuri, dera atau rajam bagi pezina, qishash bagi pembunuh dan sebagainya. Atau mengubah ketentuan-ketentuan syara' dalam masalah zakat, waris, nikah dan sebagainya (An Nisaa' : 61; Asy-Syuara : 21)
Setiap mu'min harus ekstra hati-hati dalam berprinsip, berucap, bersikap dan bertindak agar tidak terjerumus dalam kemusyrikan, Rasulullah Saw lebih jauh mengingatkan bahwa kemusyrikan tidak hanya hadir dalam bentuk yang eksplisit seperti dalam beberapa contoh tersebut di atas, tapi juga dalam bentuk sesuatu yang saking samarnya membuat seseorang tidak menyadari bila dirinya telah musyrik. Seperti tidak sadarnya seseorang bila di hadapannya terdapat seekor semut hitam karena semut itu berada di atas batu hitam dalam ruangan yang gelap pada malam hari (HR. Ahmad)
Memang benar, kecil kemungkinan ada seorang mu'min yang selain menyembah Allah SWT juga menyembah berhala dalam bentuk patung, misalnya, tapi kiranya masih ada orang yang mengaku mu'min mendatangi kuburan atau tempat-tempat yang dikeramatkan lalu mereka berdo'a dan meminta-minta berkah kepada arwah-arwah yang tentu saja, "laa haula walaa quwwata illa billah". Jangankan telah mati, ketika masih hidup sekalipun seseorang tidak bisa memberi manfaat atau mudharat kepada orang lain. Jangankan manusia biasa, bahkan Rasulullah Saw sebagai hamba Allah yang paling dekat dengan Allah SWT diperintahkan untuk mengingatkan ummatnya bahwa dirinya tidak memiliki kekuasaan sedikit pun untuk memberi manfaat atau mudharat tanpa izin Allah SWT (Q.S. Al A'raaf : 188).
Kendati Allah SWT sudah dengan tegas sekali menyatakan, tidak ada satu "Nafs (jiwa) pun, baik manusia, jin maupun malaikat yang dapat memastikan apa yang akan terjadi (Q.S. Luqman : 34). Kenyataan yang kita saksikan masih ada saja sementara orang yang mendatangi paranormal, dukun atau apalah namanya, lalu ia meyakini betul akan kebenaran ramalannya, padahal Rasulullah Saw sudah mengingatkan, “Barangsiapa yang mendatangi tukang ramal atau paranormal, lalu ia menanyakan sesuatu kepadanya, dan ia meyakini kebenaran ramalan sang dukun, maka sungguh ia telah kufur dengan (ajaran Islam) yang diturunkan kepada Muhammad (HR. Ahmad dan Al hakim). Paling tidak, ia telah mengkufuri Q.S. Luqman 34, dan kufur terhadap satu ayat Al Qur'an berakibat gugurnya keimanan secara keseluruhan, seperti gugurnya 80 ribu tahun keimanan Iblis hanya karena kufur terhadap satu perintah Allah SWT
Ironis memang, nilai-nilai kemusyrikan itu kini bahkan telah lama masuk ke dalam rumah-rumah kita lewat berbagai tayangan di televisi. Tayangan-tayangan tersebut tidak hanya saja menyesatkan akidah, tapi juga membodoh-bodohi ummat, menggiring para pemirsa untuk tidak lagi menggunakan akal sehat di dalam menghadapi realitas hidup dan kehidupan. Celakanya, tayangan-tayangan tersebut dikemas dengan memakai atribut-atribut Islam, sementara yang ditayangkan 180 derajat bertentangan dengan ajaran Islam dan nalar sehat. Semoga akhir hidup kita dapat terhindar dari dosa, terlebih lagi dengan dosa-dosa yang tidak terampuni.
Wallahu a'lam bish-shawab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar