Sabtu, 28 Mei 2011

Pasang Niat, Raih Manfaat

Oleh: Ali Akbar bin Agil 
POKOK dan akar segala sesuatu adalah niat. Buah niat itu sendiri ialah amal perbuatan. Niat yang baik, berujung pada amal yang baik. Niat yang tidak benar berakhir pada amal yang tertolak, tidak diterima. Sekalipun amal tersebut mulia, akan jatuh nilainya karena memasang niat yang salah.
Sebagai tamsil, seseorang yang niat naik haji, “Kalau saya mampu, saya pingin naik haji” tapi ia memang tidak memiliki kemampuan dana yang cukup, dia tetap memperoleh pahala haji karena niatnya.
Tamsil berikutnya, seseorang yang naik haji dengan niat ingin memperoleh pujian dan penghargaan dari masyarakat maka amal baiknya ini tidak berarti sama sekali. Uang, tenaga, pikiran, dan waktu yang telah ia korbankan, berlalu sia-sia belaka. Niat yang salah menjadikan perbuatannya tidak diterima.
Contoh lain yang bisa kita kemukakan seseorang yang berniat shalat berjamaah di masjid. Sayang, dia dalam keadaan lumpuh. Hanya niat yang kuat untuk berjamaah tanpa pernah ia lakukan, maka ia tetap dapat pahala shalat jamaah di masjid.
Namun bagi orang yang pergi ke masjid, shalat berjamah di dalamnya dengan niat mencuri sandal, baginya dosa mencuri tanpa pahala perbuatan sebelumnya karena rusaknya niat yang ia pancangkan dalam hati.

Dalam hadits Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa berperang dengan niat mencari harta rampasan berupa tali unta, maka dia (hanya) memperoleh atas apa yang ia niatkan.” (HR. Ahmad)
Amalan jihad yang agung jadi tidak ada harganya di sisi Allah karena ketidakbenaran niat. Jihad yang berarti mengerahkan daya dan upaya untuk membela agama Allah, hanya senilai tali unta karena niat yang salah.
Dalam perkara mubah yaitu perkara yang tidak mengandung pahala bagi yang mengerjakan dan dosa bagi yang meninggalkannya, seperti makan dan minum akan menghasilkan pahala jika ada niat baik dalam perbuatan tersebut. Makan dan minumlah sehingga tubuh kita menjadi berenergi. Dengan energi yang kuat, kita niatkan untuk lebih aktif beribadah.
Dahulu, para leluhur kita yang shalih mengajari anak-anaknya yang belum mencapai usia baligh untuk memasang niat. Ajaran tersebut disampaikan oleh mereka layaknya mengajari membaca surah Al-Fatihah. Teliti, cermat, dan seksama. Mereka menuntun niat dalam hati putra-putrinya dalam segala hal: makan dan minum dengan niat kuat beribadah, belajar dengan niat mencari ilmu, tidur di awal waktu dengan niat bangun malam, dan sebagainya.
Tanpa niat ikhlas dalam beramal, maka amalnya tidak akan sampai kepada Allah. Seperti orang yang mengirim surat kepada saudaranya yang tinggal di kota A tapi dalam amplop ia tulis beralamat B, akankah surat tersebut sampai ke tangan saudaranya?
Seorang hamba yang mengucapkan, “Iyyaaka Na`budu wa Iyyaaka Nasta`iin (Hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami meminta pertolongan)” tapi karena ‘alamat’ dalam hatinya salah, tidak akan sampai kepada Allah.
Keutamaan niat bisa kita temukan dari kisah yang terjadi di masa Bani Israil. Aada seorang ahli ibadah yang tak berharta tapi punya kelapangan dada yang penuh kasih sayang pada siapa saja. Suatu hari, ia lewat di sebuah gundukan tanah. Saat itu, Bani Israil sedang ditimpa masa paceklik. Makanan sulit dicari, kelaparang melanda dengan begitu hebatnya.
Lalu, dalam hati ia berniat, “Seandainya tanah itu berubah menjadi tepung, niscaya bisa mengenyangkan perut Bani Israil.”
Kemudian Allah mewahyukan kepada salah seorang nabi mereka (Bani Israil), “Katakanlah kepada si Fulan, bahwa Allah telah memberikan pahala bagimu seperti andaikata tanah itu berubah menjadi tepung lalu engkau bersedekah dengannya.”
Dari sekarang, kita pasang niat baik dalam hati sebelum melakukan segala sesuatu. Tautkan hati kita hanya untuk mengharap ridha Allah, maka kebahagiaan dunia dan akhirat ada dalam genggaman tangan kita.*

Penulis adalah Pengajar di Pesantren Darut Tauhid, Malang

sumber ; hidayatullah.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar