Rabu, 25 Mei 2011

Samantha Power, Kepercayaan Obama Dibenci Konservatif


KEPUTUSAN Amerika Serikat untuk mendukung agresi militer terhadap rezim Khadafi di Libia, disinyalir sangat dipengaruhi oleh Samantha Power, perempuan berdarah Irlandia yang menjadi penasihat khusus Presiden Barack Obama di Dewan Keamanan Nasional untuk hak asasi manusia. 

Power bersama Duta Besar PBB Susan Rice, disebut-sebut surat kabar The New York Times sebagai dua tokoh kunci yang berhasil meyakinkan Menteri Luar Negeri AS Hillary Clinton dan Presiden Obama, untuk mendukung agresi militer tersebut. 

Dilahirkan di Dublin, 21 September 1970, Power menghabiskan masa kecilnya di sana sebelum pindah ke Georgia saat berusia 10 tahun. Lulusan Yale University ini sempat menjadi dosen hak asasi manusia (HAM) di Harvard, dan memenangkan hadiah Pulitzer atas buku yang ditulisnya tentang genosida. 

Power mengawali kariernya sebagai wartawan perang Bosnia sejak 1993-1996. Ketika itu, dia mengecam Peter Galbraith yang kemudian menjadi Duta Besar AS untuk Kroasia, karena tidak berbuat cukup banyak untuk menghentikan pembantaian di sana. 

Begitu kembali ke Negeri Paman Sam, dia melanjutkan kuliah ke Harvard Law School dan lulus pada 1999. Buku pertama yang ditulisnya, 'A Problem from Hell: America and the Age of Genoside,' berasal dari makalah yang ditulisnya di sekolah hukum. Buku itu kemudian memenangkan Pulizter untuk karya nonfiksi serta J. Anthony Lukas Book Prize pada 2003. 

Power menguasi pengetahuan tentang kebijakan luar negeri, terutama yang berkaitan dengan HAM, genosida, dan AIDS. Sejak awal, dia terang-terangan mendukung pencalonan Obama sebagai presiden AS dan bahkan bergabung dalam tim kampanyenya. 

Dalam sebuah memo berjudul 'Conventional Washington versus the Change We Need,' dia menulis, ''Penilaian Barack Obama adalah benar, kebijaksanaan konvensional adalah salah. Kita memerlukan era baru yang tangguh, berprinsip, dan terlihat dalam diplomasi Amerika untuk menghadapi tantangan abad ke-21.'' 

Sebelum menjadi salah satu orang kepercayaan Obama, Power sempat dicopot dari kampanye karena menyebut Hillary Clinton, yang saat itu menjadi rival Obama, sebagai monster. Dia kemudian meminta maaf dan mengundurkan diri. 

Setelah kemenangan Obama, dia ditunjuk sebagai penasihat khusus Dewan Keamanan Nasional bagi orang nomor satu di negara adidaya itu. 

Dikecam konservatif 
Meski demikian, tidak semua pihak berjalan selaras dengannya. Ibu satu anak itu menjadi target sejumlah konservatif, yang menilai ideologi dan pengaruhnya terhadap presiden sebagai sebuah masalah. 

Dalam tulisan-tulisannya, Power menyetujui penggunaan kekuatan militer terbatas untuk mencapai tujuan kemanusiaan, seperti dalam kasus Bosnia dan Rwanda. Namun, dia tetap menentang perang di Irak, sebagian karena AS tidak mempedulikan catatan HAM Sadam Hussein. 

''Dengan alasan yang paralel, dia seharusnya menentang serangan terhadap Libia, karena kita tidak memprotes pelanggaran domestik yang dilakukan Khadafi sebelumnya,'' tukas Jeremy Rabkin, seorang profesor di George Mason University dan anggota Institut Perdamaian AS, seperti dikutip situs bloomberg.com. 

Sementara itu, para pendukungnya mengatakan Power mengadvokasi kebijakan asing berdasarkan hak moral dan universal, dan bahwa dia telah berhasil menerjemahkan cita-citanya ke dunia kebijakan dan politik.


Sumber : Media Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar