Tahun lalu, tepatnya Desember 2010, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti) Departemen Pendidikan Nasional, mendeklarasikan Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional (I-4). Asosiasi ini diharapkan bisa mempererat kerjasama antar ilmuwan Indonesia di seluruh dunia dan menjadi pelopor kerjasama pemerintah, swasta, akademisi, dan mahasiswa. Pembentukan asosiasi ini diawali dengan pertemuan para ilmuwan Indonesia yang bermukim dan bekerja di luar negeri. Sebanyak 61 ilmuwan Indonesia yang tercatat bekerja dan berprestasi di berbagai sektor di luar negeri, melakukan pertemuan untuk merumuskan kontribusi yang bisa diberikan untuk Indonesia. Menurut catatan, kini ada sekitar 2.000 ilmuwan Indonesia berkualifikasi doktor, bekerja pada berbagai sektor di luar negeri. Mereka tercatat sebagai peneliti, tenaga pengajar, asisten profesor di berbagai universitas dan lembaga penelitian.
Pada pembukaan acara tersebut, Wakil Presiden Boediono menegaskan bahwa para anak bangsa yang bekerja di luar negeri tersebut tetaplah seorang nasionalis. Mereka tetap bisa memberikan kontribusi bagi bangsa dan negara ini, meski berada di negeri orang.
Kuntowijoyo pernah membuat skema tentang perubahan peran ulama (intelektual), seiring dengan transformasi sosial-budaya. (Muslim Tanpa Masjid, 2001, hal.35).Dalam masyarakat pra-industrial, menurut Kunto, posisi ulama adalah sebagai kyai, media komunikasinya bersifat lisan, perannya sosial, dan menggunakan pola rekrutmen genealogis. Memasuki level masyarakat semi-industrial, posisi ulama berubah sebagai guru, media komunikasinya sudah tertulis, memiliki peran politik, dan pola rekrutmennya bersifat segmental. Pada era masyarakat industrial, posisi ulama sudah sebagai mitra, dengan menggunakan media komunikasi elektronik, perannya sebagai intelektual, dan menggunakan pola rekruitmen sporadis.
Menurut Kunto, peran intelektual ada 2: manajemen yang rasional dan membantu umat dalam intellectual war (perang gagasan). Ada tiga agenda nasional yang, menurut Kunto, menjadi tanggungjawab intelektual: industrialisasi, demokratisasi, dan pluralisasi. Sementara agenda pada level internasional adalah: isu ekologi dan liberalisasi (hal: 45-49)
Apa makna dari yang dikatakan oleh Kunto tersebut dengan fenomena 2.000 ilmuwan Indonesia di luar negeri?
Dalam konteks peran intelektual atau ilmuwan, perlu sebuah rumusan baru tentang spirit dan makna nasionalisme. Semacam redefinisi makna nasionalisme pada era globalisasi. Ini niscaya, sebab tantangan (keilmuan) yang dihadapi tidak sama lagi dengan era terdahulu. Baik skala maupun kompleksitas. Dalam konteks ini, nasionalisme harus ditransformasikan dari hanya bersifat teritori menjadi aksiologi. Globalisasi ditandai dengan redupnya segregasi antar negara. Maka, peran utama intelektual adalah kemampuan untuk mentransformasikan lokalitas pada dimensi global. Menjadi nasionalis atau tidak, bukan ditentukan oleh soal remeh temeh domisili. Melainkan soal komitmen, integritas, dan kapabilitas.
Pada era kolonial, parameter nasionalisme terletak pada kegigihan merumuskan strategi perjuangan mencapai kemerdekaan. Konsep nasionalisme lebih menitikberatkan pada “apa yang bisa diberikan dan diabdikan rakyat untuk negara”. Pada era kemerdekaan, parameter nasionalisme seharusnya ditransformasikan. Pembelaan terhadap negara diaktualisasikan dalam sikap dan tindakan yang berbeda, lebih “mutakhir”. Lebih dari itu, titik beratnya seharusnya sudah pada “apa yang bisa dipersembahkan negara kepada rakyat untuk spirit Dan bentuk nasionalisme yang baru.” Artinya, negara menyediakan mediasi atau menjadi fasilitator, bagi aktualisasi spirit nasionalisme yang baru.
Ke-2.000 ilmuwan Indonesia yang berada di luar negeri memiliki kapabilitas, integrita dan komitmen keilmuwan yang kukuh. Mereka abdikan hidup untuk dinamisitas ilmu pengetahuan. Dalam paradigma ini, terirori tidak lagi menjadi pertimbangan utama. Yang dikedepankan adalah spirit keilmuan. Tentu, kita tak menafikan motif finansial yang melatarbelakanginya. Namun itu lumrah, sejauh bukan yang utama, terlebih satu-satunya motif.
Ada kemungkinan keputusan 2.000 ilmuwan kita tersebut untuk mengatualisasikan kapabilitas, integritas dan komitmennya di negeri orang, lebih dilatarbelakangi oleh pertimbangan keterbatasan akses, fasilitas, dan segala bentuk dukungan lain yang diharapkan datang dari pemerintah (negara). Mereka tidak mendapatkan itu di negeri sendiri. Komitmen riset tidak bisa mereka aplikasikan, baik karena kultur pendidikan yang tidak mendukung maupun infrastruktur yang tidak memadai di Indonesia. Padahal, riset merupakan ruh pendidikan di masa depan. Akhirnya, untuk pemenuhan kapabilitas, integritas dan komitmen keilmuannya, mereka mencarinya di negara lain.
Jika parameternya adalah “old nationalism”, tentu argumen dan tindakan tersebut tak sah sebagai justifikasi. Namun dalam Megatrends Asia (1996), John Naisbitt mengidentifikasi bahwa satu dari delapan kecenderungan yang akan terjadi di Asia, dan akan berpengaruh besar pada tingkat global dan perkembangan masa depan dunia, adalah “peralihan dari negara-bangsa menuju jaringan”. Artinya, keberadaan 2.000 ilmuwan Indonesia di luar negeri tersebut pada dasarnya adalah sebuah potensi. Potensi yang jika diaktualisasikan akan menjadi besar manfaat dan kontribusinya bagi kepentingan nasional Indonesia. Dengan kata lain, itu akan menjadi aktualisasi spirit dan jiwa nasionalisme dalam bentuknya yang baru (“new nationalism”). Akan terbangun sebuah jaringan ilmuwan Indonesia di berbagai penjuru dunia, dibawah spirit nasionalisme bumi pertiwi.
Akhirnya, sebagaimana Kunto melakukan pemetaan yang berjenjang tentang posisi, pola komunikasi, peran, dan pola rekrutmen ulama di setiap zaman. Maka intelektual dan ilmuwan juga demikian. Kini kita berada di era informasi. Maka aspek-aspek mengenai posisi, media komunikasi, peran dan pola rekrutmen juga harus merelevansikan dirinya. Yaitu dengan berbasis pada teknologi informasi. Tentu, semua itu tetap dibawah payung spirit “new nationalism”.
fahamindonesia.org
Tidak ada komentar:
Posting Komentar