Sabtu, 14 Mei 2011

HADITS MUKHTALATH DAN SEBAB-SEBABNYANYA


Pengertian Ikhtilath 
Ibnu Hajar rahimahullah berkata:"Buruknya hafalan yang menimpa seorang perawi hadits." 
As-Sakhawi rahimahullahberkata:"Hakekatnya adalah rusaknya akal seorang perawi dan ketidakteraturan ucapan-ucapan dan perbuatannya." 
Ash-Shan'ani rahimahullah berkata:"Seorang perawi yang Mukhtalath (orang yang tertimpa ikhtilath) adalah seorang perawi yang tertimpa hal-hal yang menjadikannya tidak tsiqah (tidak kredibel.
Dan pernyataan yang mengatakan bahwa hakekat Ikhtilath adalah rusaknya akal menunjukkan secara jelas bahwa seorang perawi yang disifati dengan Ikhtilath dahulunya adalah orang yang sehat akalnya, kemudian tertimpa sesuatu yang merubah hafalannya dan berpengaruh terhadap ingatannya. Oleh sebab itu kita mendapati sebagian ulama mengungkapkan hal itu dengan perkataanya:"Thari'u atau 'Aridh." 
Sebab-sebab Ikhtilath 
sebab-sebanya ada bermacam-macam, di antaranya adalah : 
1. Usia yang semakin tua dan apa-apa yang menimpanya berupa berbagai macam penyakit, seperti kebutaan dan lain-lain apabila dia meriwayatkan hadits dari kitabnya. 
2. Hilang, rusak atau terbakar kitab-kitabnya (kitab hadits), apabila dia meriwayatkan hadits dari kitabnya. 
3. Matinya orang yang dicintainya seperti anak dan yang semisalnya. 
4. Kecurian harta (hartanya dicuri), dan kejadian ini (kecurian) termasuk musibah yang kadang-kadang mempengaruhi akal sebagian perawi. 
Tingkatan-tingkatan Mukhtalathin 
Perawi yang didha'ifkan (dilemahkan) hadits pada sebagian waktu dan dishahihkan pada waktu yang lain, mereka adalah ats-Tsiqat (perawi-perawi kredibel) yang mengalami Ikhtilath (perubahan hafalan) pada akhir-akhir usianya, dan mereka bertingkat-tingkat dalam Ikhtilathnya. Maka di antara mereka ada yang Ikhtilathnya parah dan ada yang ringan. 
Hukum hadits Mukhtalath 
Al-'Iraqi rahimahullah berkata:"Hukum terhadap perawi yang Ikhtilath (berubah hafalannya) adalah tidak diterima dari hadits yang disampaikannya ketika dalam kondisi Ikhtilath, demikian juga yang tidak jelas dan membingungkan keadaaanya, sehingga tidak diketahui apakah dia meriwayatkan hadits sebelum atau setelah Ikhtilath? Sedangkan yang diriwayatkannya sebelum Ikhtilath diterima, hanya saja hal itu dibedakkan dari perawi-perawi yang meriwayatkan dari mereka (Mukhtalathin), maka di antara mereka ada yang mendengar hadits darinya sebelum Ikhtilath saja, dan di antara mereka ada yang mendengar hadits darinya setelah ikhtilah itu terjadi pada dirinya saja dan di antara mereka ada yang mendengar hadits darinya dalam dua kondisi dan tidak bisa dibedakkan." 
Dan Ibnu Hajar rahimahullah mengungkapkan dengan kata "tawaqquf/berhenti"sebagai ganti dari kata: "laa yuqbal/tidak diterima", beliau berkata:"Dan hukum dalam masalah ini, bahwasanya apa yang diriwayatkan darinya sebelum Ikhtilath apabila bisa dibedakan adalah diterima, dan apabila tidak dapat dibedakkan maka tawaqquf. Demikian pula perawi yang tidak jelas keadaannya, dan hal tersebut hanya diketahui bedasarkan penilaian para perawi yang mengambil hadits darinya." 
Dan pengungkapan dengan kata "tawaqquf" mungkin lebih utama, karena dimungkinkan seorang peneliti hadits menemukan sesuatu yang bisa membedakan perawi tersebut (yang terkena ikhtilath), atau dia mendapatkan perkataan yang menjelaskan waktu dia (perawi) mengambil hadits dari perawi yang mukhtalath(yang terkena ikhtilath). Wallahu A'lam. 
Cara mengetahui keadaan perawi apakah belum terjadi ikhtilat padanya ataukah sudah ? 
Hal tersebut bisa diketahui lewat murid-muridnya. Sebagian murid mengambil hadits dari perawi tersebut dalam keadaan sehatnya, lalu apabila dirasa ada perubahan maka dia berhenti mengambil hadits dari perawi yang mukhtalath tersebut. Maka hadits murid tersebut dari syaikh (guru) ini terhitung hadits shahih, dan seolah-olah syaikh tersbut sudah meninggal hanya dengan terjadinya perubahan dalam dirinya (hafalannya). Dan siapa saja yang meriwayatkan darinya setelah ikhtilath, maka orang inilah yang riwayatnya diliputi keraguan. 
Dan sebagian mereka ada yang mengambil/meriwayatkan hadits darinya dalam kedua keadaan dan tidak berhenti dari meriwayatkan darinya serelah terjadi ikhtilath, maka perawi yang seperti ini hadits-haditsnya tidak dipakai walaupun yang shahih. 
Dan terkadang sampai kepada kita hadits dan di dalamnya ada perawi yang meriwayatkan hadits syaikh yang mukhtalath setelah terjadinya ikhtilath, dan terakadang kita dengan cepat mengatakan:"Hadits ini dha'if (lemah), karena di dalamnya ada Fulan dan dia mukhtalath, dan Fulan (perawi) meriwayatkan darinya, dan dia termasuk perawi yang meriwayatkan darinya (syaikh yang mukhtalath) setelah terjadinya ikhtilath." 
Akan tetapi kalau kita bersabar (tidak terburu-buru menghukumi hadits), dan kita membuka-buka kitab hadits, lalu kita kumpulkan jalur-jalur hadits, niscaya akan kita dapati bahwa di sana ada perawi yang meriwayatkan hadits dari syaikh tersebut, dan dia termasuk perawi yang mengambil haditsnya dari syaikh tersebut sebelum ikhtilath, maka dengan demikian shahihlah hadits tersebut, dan dan tidak dihukumi dengan dha'if, sebagaiman dia dihukumi sebelum diteliti secara panjang lebar terhadap hadits tersebut.Wallahu A'lam 
(Sumber: Fataawaa Hadiitsiyyah karya Syaikh Sa'd bin Abdullah Alu Humaid hal.155-156, dan http://www.al-ittibaa.net/go/showthread.php?t=794. Diposting oleh Abu Yusuf Sujono) 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar