Rabu, 22 Juni 2011

Makar dan Mungkar

Oleh : Dr A Ilyas Ismail
 
Dalam bahasa agama, makar tak selalu dipahami dalam perspektif politik, sebagai usaha menggulingkan pemerintahan yang sah. Akan tetapi, makar secara umum dipahami sebagai perbuatan jahat atau persekongkolan jahat yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi atau rahasia (al-sa`yu fi al-fasad khufyah) untuk membahayakan atau mencelakakan orang lain.

Maka, rencana jahat orang-orang Yahudi untuk membunuh Nabi Isa AS, disebut Alquran sebagai tindakan makar (QS Ali Imran [3]: 54). Begitu juga rencana jahat kaum kafir Quraisy untuk membunuh Nabi Muhammad SAW pada malam hijrah, dinamakan makar. "Mereka memikirkan tipu daya dan Allah menggagalkan tipu daya itu. Dan Allah sebaik-baik pembalas tipu daya." (QS al-Anfal [8]: 30).

Dalam ayat di atas, perbuatan makar tak hanya dinisbatkan kepada manusia, tetapi juga disandarkan kepada Allh SWT, dan bahkan dikatakan bahwa Allah SWT adalah sebaik-baik pelaku makar. Lantas, apa makna makar Allah itu?

Menurut banyak pakar tafsir, termasuk al-Razi dan al-Alusi, makar Allah itu mengandung makna kiasan (majaz isti`arah) yang dipergunakan sekurang-kurangnya untuk tiga makna. Pertama, makar dalam arti pembalasan serupa (musyakalah), yaitu tindakan Tuhan menggagalkan rencana jahat yang dilakukan oleh orang-orang kafir seperti dalam kasus Nabi Isa AS dan Nabi Muhammad SAW.

Kedua, makar dalam arti pembiaran Tuhan dalam sementara waktu kepada para pelaku kejahatan untuk tetap menikmati hidup dan bersenang-senang dalam kesesatan (istidraj), sehingga mereka makin membabi buta, sampai tiba waktunya Allah mengutuk dan mengazab mereka secara tiba-tiba dan tanpa disangka-sangka.(QS al-An`am [6]: 44).

Ketiga, makar dalam arti tindakan Tuhan menghukum dan mengazab orang-orang yang suka berbuat jahat (mungkar). "Maka, apakah mereka merasa aman dari azab Allah (yang tidak terduga-duga)? Tiada yang merasa aman dan azab Allah kecuali orang-orang yang merugi. (QS al-A`raf [7]: 99).
Meskipun ayat ini ditujukan kepada orang-orang kafir, tetapi tidak berarti kita bebas dari makar dan murka Allah. Kita sebagai pribadi maupun bangsa bisa terkena makar dan murka Allah bilamana kita tak berhenti dan terus bergelimang dengan dosa-dosa dan kejahatan (kemungkaran). Jangan tertipu dan menipu diri sendiri, dengan hanya berkata, "Allah Maha Pengasih, Rahmat-Nya lebih besar dari amarah-Nya, dan Allah pasti memaafkan kita."

Yang benar, seorang Muslim diperintahkan agar memiliki sifat khauf, yaitu rasa takut yang besar kepada Allah di satu pihak, dan sifat raja', yaitu rasa penuh harap (optimisme) di lain pihak. Sikap demikian pernah ditunjukkan oleh sahabat Umar bin Khatab. Katanya, "Sekiranya diberitahukan bahwa yang masuk sorga hanya satu orang, maka aku berharap orang itu aku. Dan sekiranya, diberitahukan bahwa yang masuk neraka hanya satu orang, maka aku takut dan khawatir, jangan sampai orang itu aku."

Itu berarti, di samping optimistis, seorang Muslim mesti memiliki kewaspadaan dari kemungkinan makar Allah, dengan cara menjauhi berbagai tindak kejahatan dan kemungkaran, baik lahir maupun batin. Wallahu a`lam.

sumber ; republika.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar