Tidak ada makhluk melata di muka bumi ini kecuali jatah penghidupannya telah dijamin Allah (Hud: 6). Terlebih lagi manusia dengan kapasitasnya sebagai pemakmur bumi dan makhluk paling mulia. Yang demikian itu agar kehidupan ini senantiasa berjalan seperti yang dikehendaki Sang Pencipta. Meski demikian, jatah rezki itu tidak serta-serta mendatangi makhluk tersebut tanpa ada upaya untuk meraihnya. Maka berupaya untuk mendapatkan jatah penghidupannya menjadi suatu keniscayaan. Perlu ada upaya dan sebab meraih bagian itu. Jika ingin mendapatkan ikan, perlu menebar jala atau memasang kail.
Dalam Islam, kemuliaan seseorang tidak hanya diukur dari sejumlah ibadah yang dipersembahkan kepada Allah. Seberapa hitam tanda di keningnya karena lama dan seringnya bersujud. Dan seberapa lama ia berdiam di pojok masjid dengan tasbih yang dimainkan oleh jemarinya dan mulut yang tak henti-henti mengumumkan kalimat-kalimat pujian kepada Sang Pencipta. Seseorang berupaya mendapatkan jatah rezki itu termasuk perbuatan mulia. Semakin berat seseorang berupaya, semakin mulia dia dan semakin disukai Allah. Yang paling penting dalam hal ini adalah proses mendapatkannya. Sebaliknya, bermalas-malasan dalam mengoptimalkan potensi demi mendapatkan karunia Allah tersebut adalah perbuatan hina dan tidak disukai Allah.
Kemuliaan Berusaha
Al-Qur’an dan hadits Nabi banyak menyampaikan anjuran bahkan pujian bagi orang yang berusaha mendapatkan rezki.
Allah berfirman, “Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (Al-Jum’ah: 10).
“Inilah konsep tawazun yang ditegaskan oleh manhaj Islam. Tawazun di antara tuntutan hidup di muka bumi ini. Di antara kerja, aktivitas, upaya, dan mencari nafkah pada suatu saat dan pada saat yang lain mengisolasi ruh dan hati dari semua kesibukan itu dalam kekhusyukan dzikir kepada Allah…” demikian Penulis tafsir “Fii Zhilalil Qur’an”, Sayyid Quthb, mengomentari ayat tersebut. (Fii Zhilalil Qur’an)
Jika seseorang dapat menghidupi dirinya sendiri dan tanpa menggantungkannya kepada orang lain. Apatah lagi melalui usahanya banyak orang bergantung kepadanya. sabda Rasulullah saw.,
عَنْ خَالِدِ بْنِ مَعْدَانَ عَنْ الْمِقْدَامِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا أَكَلَ أَحَدٌ طَعَامًا قَطُّ خَيْرًا مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ وَإِنَّ نَبِيَّ اللَّهِ دَاوُدَ عَلَيْهِ السَّلَام كَانَ يَأْكُلُ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ
Khalid bin Ma’dan meriwayatkan dari Miqdam ra. dan dari Rasulullah saw. Beliau bersabda, “Tidak ada seorang yang memakan makanan yang lebih baik daripada seseorang yang makan dari hasil kerja tangannya sendiri. Dan nabi Daud as. makan dari hasil kerja tangannya.” (Bukhari).
Bisa jadi seseorang dianggap hina oleh kaca mata dunia karena profesinya, namun sesungguhnya menurut parameter akhirat ia sangat mulia, bahkan lebih mulia ketimbang mereka yang memiliki status sosial tinggi karena melimpahnya kekayaan bumi namun bukan dari perasan peluhnya sendiri. Rasulullah membandingkan kemuliaan orang yang mencari kayu bakar dengan yang hanya meminta-minta kepada manusia. Tentu saja jika sebuah usaha dibingkai dengan bingkai ibadah kepada Allah.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَأَنْ يَأْخُذَ أَحَدُكُمْ حَبْلَهُ ثُمَّ يَغْدُوَ أَحْسِبُهُ قَالَ إِلَى الْجَبَلِ فَيَحْتَطِبَ فَيَبِيعَ فَيَأْكُلَ وَيَتَصَدَّقَ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَسْأَلَ النَّاسَ
“Sekiranya salah seorang di antara kalian mengambil talinya lalu berangkat (perawi: saya kira beliau mengatakan) ke gunung kemudian mengumpulkan kayu bakar lalu menjualnya dan memakan (dari hasilnya) serta menyedekahkannya, itu lebih baik daripada ia meminta-minta orang.” (Bukhari).
Abu Hamid Al-Ghazi menyebutkan dalam Ihya’-nya, bahwa Rasulullah pernah duduk-duduk bersama para sahabatnya pada suatu hari. Tiba-tiba mereka melihat seorang pemuda yang berkulit kasar dan kuat. Pagi-pagi ia bekerja. Mereka (para sahabat) berkomentar, “Sayang sekali orang ini, kalau saja masa mudanya dan kekerasan tubuhnya itu berada di jalan Allah.” Rasulullah bersabda, “Jangan berkata seperti itu, sebab jika ia berusaha untuk menjaga dirinya agar tidak meminta-minta serta mencukupkan dirinya dari orang lain, maka ia berada di jalan Allah. Atau jika ia bekerja untuk kedua orang tua yang lemah dan keluarga yang lemah untuk membuat mereka kaya dan cukup, maka ia berada di jalan Allah. Namun kalau ia bekerja untuk berbangga diri dan berbanyak-banyak harta, maka ia berada di jalan setan.”
Namun, peran manusia dalam masalah rezki hanya sebatas berusaha dan mengoptimalkan potensi yang Allah berikan kepadanya. Menggerakkan semua kemampuan dan menjadikan pengalaman sebagai bekal untuk menghadapi liku-liku di dunia usahanya. Menyusun strategi yang baik dan menutupi berbagai kekurangan yang mungkin menjadi kendala. Juga mengevaluasi kinerja yang mungkin menjadi penyebab kegagalan.
Hasil dari usahanya tidak dapat dipastikan dengan kalkulasi manusiawinya. Itu merupakan hak prerogatif Allah yang memberikan jatah kepada masing-masing hamba. Dan selalu ada hikmah di balik setiap kuantitas jatah itu. Hal ini sangat terkait dengan kedudukan harta benda sebagai ujian. Diberikan dan ditahannya harta kepada seseorang pasti demi kebaikan hamba tersebut. Barangkali seseorang, karena ketidaktahuannya, mengira bahwa dirinya layak mendapatkan jatah lebih dari orang lain. Namun Allah yang lebih tahu tentang hamba-Nya lebih tahu pula seberapa banyak jatah yang dibutuhkan masing-masing hamba.
Perlu digaris-bawahi di sini, bahwa persoalan jatah adalah perkara gaib dan manusia tidak dibebankan untuk mengetahui sebelum jatah itu benar-benar berada dalam genggaman tangannya. Maka manusia diberi kebebasan untuk memasang target dunia yang ingin digapainya dan diberi keleluasaan berupaya mengejar target itu, tentu saja dengan cara dan etika yang telah ditetapkan panduannya oleh syariah.
Karena kegaiban hasil dari sebuah usaha itulah seorang hamba wajib berharap dan berdoa kepada Allah. Tidak layak baginya untuk menyandarkan hasil kepada jerih payahnya semata. Betapa banyak manusia menetapkan strategi untuk mencapai target yang telah ditetapkannya, namun tangan-tangan taqdir menghalanginya sehingga ia terhalang untuk mencapai target tersebut.
Sebagai implementasi dari surat Al-Jumuah ayat 10 tadi, seorang sahabat Nabi saw., ‘Arak bin Malik ra, setiap kali usai shalat Jum’at, ia keluar dan berhenti di pintu masjid seraya berdoa, “Ya Allah, aku telah menyambut seruan-Mu, shalat melaksanakan kewajiban-Mu, lalu aku menyebar sebagaimana perintah-Mu. Maka berilah rezki dari karunia-Mu karena Engkaulah sebaik-baik pemberi rezki.” (Ibnu Katsir).
Doa setelah atau ketika bekerja adalah representasi seorang hamba terhadap keterbatasan dirinya sekaligus pengakuannya akan kekuasaan Rabbnya. Sebagai bentuk pengesaan Rububiyah Allah. Bahwa Allah-lah Zat yang memberi rezki. Di tangan-Nya segala kebaikan. Allah berhak memberikannya kepada siapa yang dikehendaki dan menahannya dari siapa yang dikehendaki.
Doa dan Taqdir
Mungkin ada terusik oleh sebuah pertanyaan, apakah doa yang dipanjatkan seseorang ketika ia bekerja akan mengubah jatah rezkinya yang merupakan taqdir dari Allah?
Di kitabnya, Ad-Daa’ wa Ad-Dawa’, Ibnu Al-Qayyim Al-Jauziyah menjawab, “Taqdir itu ditentukan Allah melalui beberapa sebab. Dan di antara sebabnya adalah doa. Allah tidak mentaqdirkan sesuatu tanpa sebab. Allah juga menentukan sebab itu. Manakala seorang hamba melakukan sebab itu, maka taqdir itu pun terjadi. Seperti halnya taqdir kenyang dan hilangnya dahaga dengan makan dan minum. Taqdir lahirnya seorang anak melalui proses perkawinan. Taqdir makan daging binatang dengan menyembalihnya terlebih dahulu. Termasuk taqdir masuk surga dengan amal perbuatan dan masuk neraka dengan amal perbuatan. Maka, doa merupakan sebab paling penting untuk menggapai taqdir.”
Doa adalah ibadah yang disyariatkan Allah kepada hamba agar dalam berinteraksi dengan Allah, perasaan harap dan keinginan kuat untuk mendapatkan apa yang diinginkannya tertancap di dalam dirinya. Dan jika seseorang mempunyai keinginan kuat untuk mendapatkan dambaannya serta takut kehilangan dambaan tersebut, tentu hal itu akan semakin menggerakkannya untuk berbuat dan mengoptimalkan usahanya.
Hasil yang dicapai tidak selamanya berbanding luruh dengan usaha. Dan keimanan seseorang kepada taqdir membuatnya menerima hasil dari semua usahanya, baik sesuai dengan keinginannya atau tidak.
Keimanan kepada taqdir yang berlaku bagi dirinya setelah melakukan ikhtiar manusiawi adalah puncak keimanan. Kebaikan dan keburukan yang menimpa tidak membuatnya berpaling dari menempuh jalan positif menuju kebaikan. Memilih taqdir baik adalah bagian dari ikhtiar yang dianjurkan dalam Islam.
Suatu ketika Umar bin Khatthab menginstruksikan pasukannya yang sedang melaksanakan operasi militer agar berpindah dari tempat yang diindikasikan terkena epidemi kolera menuju tempat lain. Salah seorang pasukan berkomentar, “Apakah Anda ingin berlari dari taqdir Allah, wahai Umar?” Khalifah kedua ini menjawab, “Ya, kita berlari dari taqdir Allah menuju taqdir Allah.”
Sangat sejalan dengan apa yang dianjurkan Rasulullah saw.,
عَنْ عِمْرَانَ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ فِيمَا يَعْمَلُ الْعَامِلُونَ قَالَ كُلٌّ مُيَسَّرٌ لِمَا خُلِقَ لَهُ
Imran bertanya, “Ya Rasulullah, untuk orang-orang beramal?” Beliau menjawab, ‘Masing-masing orang akan dipermudah menuju taqdirnya.” (Muttafaq Alaihi)
Ali ra. berkata, “Sesungguhnya salah seorang di antara kalian tidak bersih keimanan di dalam hatinya sampai dia yakin seyakin yakinnya dan tidak ragu sedikit pun, bahwa apa yang menimpa dirinya bukan karena kesalahan yang dilakukannya dan kesalahan yang dilakukan tidak menyebabkannya tertimpa musibah serta meyakini semua takdir yang terjadi.”
Dus, ketika benih telah disemai, air telah disiramkan, pupuk telah ditebar, berdoalah. Lalu apapun yang dihasilkan, terimalah dengan penuh ketulusan sebagai karunia Zat yang mengeluarkan buah dari bunganya. Wallahu A’lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar